“Pokoknya kalau Papa bilang pulang ya pulang, Adera!” seruan dari seberang telepon membuat Adera menggerakkan tangan untuk memijit pelipisnya. Ia pening. Syuting hari ini juga berjalan tidak terlalu lancar, dan begitu break malah disuguhi telepon dari Joan—papanya—yang bersikeras memaksanya untuk pulang ke Surabaya akhir pekan nanti. “Pokoknya kamu harus pulang! Jangan membantah!”
“Pa, aku——”
“Ini untuk masa depan kamu. Setelah Papa pikir berulang kali, kalau kamu terus berdiam diri di Jakarta bersama anak itu, kamu nggak akan dapet apa-apa selain kesia-siaan. Anak itu pas dewasa nggak mungkin juga bakal peduli sama kamu, Ra, jadi, sekarang turuti perintah Papa, akhir pekan nanti pulang ke sini dan kita rundingkan perihal pernikahan yang udah Papa canang untukmu.”
Adera tahu, Papanya bukan tipikal orang yang akan diam jika diabaikan atau tidak diindahkan perintahnya. Pria itu akan melakukan hal apa saja agar keinginannya terpenuhi. Namun, untuk pernikahan sejenis perjodohan semacam ini, Adera bahkan tidak bisa menerimanya. Ia sudah trauma dengan rumah tangganya dulu yang berakhir tidak baik. Sejujurnya, Adera mengakui, ia sudah cukup nyaman dengan kehidupannya saat ini. Meski ia harus menuai lelah lantaran pekerjaannya.
“Pa, kalau aku bisa akhir pekan nanti, aku pulang, ya.” Adera menyahut lembut, enggan menyakiti hati pria itu. Setidaknya dia tidak menjadi tidak tahu diri setelah apa yang Papa lakukan untuknya sehingga ia berada di puncak saat ini. “Papa jaga kesehatan.”
Papa terdengar menghela napas lalu menyahut dengan nada mulai melunak. “Oke. Kamu juga, Ra, jangan kelelahan.”
Lalu setelah sambungan terputus, Adera melempar benda itu ke kursi sebelahnya, mengundang tatapan bertanya dari Mbak Putri yang baru saja datang dengan satu cup kopi terkenal. “Kenapa, Mbak?”
“Akhir pekan nanti, saya punya jadwal apa saja?” Adera langsung bertanya tanpa perlu repot-repot menjawab pertanyaan Mbak Putri. “Kalau agak longgar, saya mau pulang ke Surabaya dua hari.”
“Ada pemotretan untuk produk kecantikan dan dua acara talk show.” Mbak Putri baru memberi jawaban setelah mengecek jadwal Adera. “Pulang ke Surabaya ngapain, Mbak? Pak Joan nyuruh?”
Adera mengangguk. “Iya. Lagi-lagi topiknya tentang pernikahan itu, Put. Padahal saya udah menolaknya ratusan kali, Papa tetep nggak peduli dan memaksa, kali ini kalau emang nggak bisa dibujuk, kayaknya saya bakal terima pernikahannya, Put,” papar Adera seraya menyeruput kopinya dan melempar pandangan pada kru yang juga sedang istirahat.
Mbak Putri menatapnya gamang. Kalau Adera benar-benar menerima pernikahan itu, lalu bagaimana dengan Dewa? Anak itu pasti akan lebih tersakiti. Sudah cukup lama untuk Dewa habiskan dengan kebencian bundanya, jika ditambah lagi dengan ayah tiri bagaimana lagi? Walau dipikir lagi, eksistensi Dewa memang tidak pernah diendus media, jadi kemungkinan calon suami bosnya ini tidak akan mengetahuinya kecuali jika Joan memang memberitahukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...