Motor merah yang dikendarai Dewa pada akhirnya menepi begitu suara ponsel dari dalam saku jaketnya terdengar. Laki-laki itu melirik arloji di tangan kiri sebelum beralih menerima panggilan telepon yang ternyata dari Leon. Sebelumnya dia melepas helm dan menggantungnya di lengan kiri.
“Halo, udah sampai, Dew?”
Dewa menggaruk kepalanya dan mengamati lalu lintas di depannya. “Aku ke bandara, Yah. Mau susulin Bunda dan ngasih hadiah itu.”
“Kamu baru sampai, 'kan? Kok udah pergi aja? Hadiahnya bisa kapan-kapan, Dew, ngapain kamu buru-buru gitu?” Jeda. “Kamu naik taksi ke sana?”
“Takut nggak sempet nanti. Nggak. Aku minjem motor sepupu.”
“Kamu teleponan sambil bawa motor?”
“Nggak, Yah, ini nepi bentar.”
“Kalau gitu hati-hati. Jangan ngebut! Patuhi rambu-rambu berlalu-lintas, oke? Jangan lupa kita harus ketemu Oma di Jogja.”
“Inget kok, Yah. Tenang aja. Kalau gitu udah dulu ya, Yah. Jangan bosen nungguin aku hahah.”
“Siap. Sana, hati-hati!”
Sesudah memutuskan sambungan, Dewa kembali memasukkan ponsel ke dalam saku jaket. Tidak lupa jemarinya sempat menyentuh permukaan kotak yang dia simpan di saku jaket sebelah. Sebentar lagi benda itu akan sampai kepada sang penerima. Dewa tidak banyak berekspetasi akan ekspresi Bunda, setidaknya dia sudah berusaha memberikannya.
“Nanti aja make helm,” gumamnya pada angin sebelum kembali melajukan motornya dan mengabaikan teriknya matahari di atas sana. Motornya berpacu seolah sedang balapan dengan kendaraan lain.
Di perempatan jalan lampu merah, Dewa menghentikan motornya dan menunggu rambu lalu lintas tersebut berubah warna, seraya memindahkan helm ke kaca spion—niatnya nanti saja pakai helm ketika akan ngebut—. Di sebelah kirinya sudah berjejer motor dan mobil. Dewa menyentuh kotak kalung itu sekali lagi sebelum lampu berubah hijau dan dirinya kembali menjalankan motor. Sayangnya, semesta sedang memberikannya keadaan yang tidak menguntungkan dengan mendatangkan sebuah truk dari arah kanan, tampaknya truk tersebut baru saja menerobos lampu merah dan menghantam motor Dewa beserta pengendaranya dengan keras. Laki-laki itu terlempar lantas menabrak kaca mobil sedan yang tidak jauh darinya dengan tidak kalah keras, sebelum berakhir di aspal panas. Darah-darah berceceran dan seketika jalan raya riuh.
Dewa masih bernapas dan sadar saat suara klakson bersahut-sahutan, suara pekikan orang, dan terakhir derap langkah yang cepat menghampirinya yang terkapar. Setiap bagian tubuhnya sakit bukan main terutama bagian tangan kirinya yang tadi mendarat tidak bagus, sepertinya di bagian tersebut terjadi patah tulang lantaran ketika Dewa berusaha menggerakkannya terasa sakit sekali.
Dewa masih berusaha bernapas. Matanya menatap bentangan langit di atasnya dengan awan agak kelabu lalu netranya terpejam begitu saja.
“Selamat ulang tahun, Bunda. Dewa yang pertama mengucapkan. Tapi kadonya belum sampai ke Bunda.”
*
Banyak sekali rencana Tuhan yang tidak dapat manusia tebak. Baru beberapa waktu lalu mereka berbicara, tapi sekarang, Leon hanya duduk sendiri menunggu tanpa kepastian ketika Dewa masih ditangani dokter. Pria itu menggenggam erat kotak yang diserahkan polisi padanya tadi. Di dalam benda tersebut, Leon mendapatkan kalung yang sebenarnya akan diberikan kepada Adera. Sayangnya, bahkan sebelum diberikan, Dewa sudah dinanti oleh malaikat maut.
Suara derap kaki dari ujung lorong terdengar. Leon menolehkan kepalanya sehingga memperlihatkan wajah kacaunya. Di sana ada orang tua Adera yang berjalan tergesa, barangkali keduanya sudah dihubungi karena motor yang dikendarai oleh Dewa tadi.
Mama Adera tampak tidak kalah kacaunya dan segera menariknya berdiri. Air mata wanita tua itu terus menetes. “Kenapa kamu bisa ada di sini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...