7 | Sebuah rencana

5.9K 621 14
                                    

Yang ia dapatkan begitu membuka mata adalah dominasi putih. Dewa mengerjapkan matanya berkali-kali lalu disambut sebuah suara lembut.

“Dew, udah sadar?”

Ia lekas memalingkan wajahnya menuju asal suara lantas mendapatkan wajah Mbak Putri yang menatapnya cemas. Dewa menarik napas dalam kemudian mengangguk perlahan. Wajah Mbak Putri terlihat melega, seolah seribu ton masalah baru saja diangkat dari pundaknya. Lalu perempuan itu menekan tombol di samping brankar lantas beralih mengusap kepalanya. “Lain kali jangan diulangi ya. Kamu udah janji loh sama Mbak buat bertahan sampai bundamu bisa menerima kamu.”

Dewa mengerjapkan matanya beberapa kali, kelihatan masih bingung dengan ucapan Mbak Putri. Ah, iya, laki-laki itu baru terbangun hari ini sesudah tiga hari tidak sadarkan diri sejak malam itu dilarikan ke rumah sakit ini.

Tidak lama berselang, seorang dokter dan perawat datang.

Mbak Putri lekas beringsut mundur untuk memberi ruang pada tenaga medis tersebut. Ia mengulum senyum saat Dewa ditanyai kabar oleh dokter dan laki-laki itu balas dengan kata baik-baik saja, setidaknya Dewa berhasil diselamatkan. Setidaknya Dewa masih berjuang untuk bertahan.

Lalu, ingatan Mbak Putri berhenti di sebuah percakapan antara dirinya dan dokter yang menangani Dewa. Bahwa laki-laki itu memerlukan pertolongan sesegera mungkin, dari segi fisik laki-laki itu memang baik-baik saja, tapi dari segi psikis tentu saja Dewa punya masalah.

Dokter tersebut menyarankan agar Dewa dikonsultasikan dengan seorang psikiater. Mbak Putri tahu, menyembuhkan pasien self injury seperti Dewa tidak sesederhana itu, dan self injury juga tidak dapat dipandang sebagai perilaku kurang bersyukur atau cari perhatian.

Daripada itu, Mbak Putri tahu, untuk benar-benar sembuh, Dewa harus didukung penuh oleh orang terdekat. Masalahnya, orang terdekat menurut Dewa-lah yang menyebabkan laki-laki itu menjadi seperti ini. Penolakan yang dilakukan oleh Adera jelas membuat laki-laki itu merasa tidak berguna dan memilih untuk melampiaskan emosinya dengan cara yang berbahaya.

“Mbak Putri nggak pulang? Hari ini Bunda nggak ada jadwal?”

Karena saking asyiknya tenggelam dalam lamunan, Mbak Putri bahkan tidak sadar kalau dokter dan perawat tersebut sudah meninggalkan ruangan—bahkan keduanya sempat mengatakan sesuatu padanya yang tidak didengar sama sekali oleh Mbak Putri—hingga perempuan itu baru menyadarinya sekarang. “Kenapa, Dew?” tanyanya lagi.

Dewa menaikkan alisnya bingung. “Mbak mikirin apa? Ngelamum terus? Ada masalah, Mbak? Ehm, atau Bunda marah karena Mbak di sini? Kalau gitu, mending Mbak pu——”

“Bukan begitu, Dew. Kebetulan hari ini Mbak Adera nggak ada jadwal syuting, jadi Mbak bisa ke sini lebih awal——”

Dewa memutar pandangan menghadap jam dinding. Pukul sepuluh pagi.

“——dan Mbak seneng karena akhirnya kamu sadar juga.”

“Maaf, Mbak. Maaf udah buat Mbak khawatir. Maaf.”

Mbak Putri mendekat lalu mengusap bahu Dewa seraya mengulas senyum. “Makanya jangan diulangi lagi, ya? Kamu udah pernah janji sama Mbak loh.”

“Bunda udah tau, Mbak,” lirih laki-laki itu tanpa menatap lagi ke arah Mbak Putri. “Bahkan Bunda bilang kalau aku gila. Aku takut kalau habis ini Bunda ngusir aku dari rumah. Aku takut kalau buat Bunda malu, Mbak. Karier Bun——”

After You've GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang