“Saya nggak pernah harapin kamu ada!”
“Kamu adalah kesalahan yang nggak bisa dimaafkan.”
“Dari dulu saya mau kamu nggak ada!”
Dewa tersentak bangun dari tidurnya. Kepalanya sakit luar biasa dan napasnya berderu keras. Laki-laki itu melongok ke arah jam weker. Pukul satu dini hari. Tangannya terangkat mengusap peluh di dahinya. Sejurus kemudian ia beranjak dari kamar. Dalam benaknya, dia bertanya tentang maksud dari mimpi yang akhir-akhir ini selalu mendatanginya.
Kakinya menuntun ke arah dapur. Sayup-sayup, ia dapat mendengar suara ketak-ketik dari ruang tengah. Kepalanya lantas melongok dan mendapati Leon sedang duduk di sofa dengan laptop di pangkuan.
“Ayah belum tidur?” tanyanya sembari mendekat.
Leon mengangkat kepalanya dan menggeleng pelan. Ia lantas meletakkan laptopnya ke atas meja dan merangkul Dewa begitu anaknya duduk di sebelahnya. “Kamu juga kenapa kebangun jam segini? Tadi Ayah cek kamu udah pulas banget tidurnya.”
Dewa menatap ke depan dengan kosong. Ia membuang napas berkali-kali sampai Leon dibuat penasaran. “Kenapa?”
“Tadi mimpi, Yah. Sama kayak mimpi yang sebelumnya aku ceritain ke Ayah. Ada orang yang teriak bilang nggak ngarepin aku, terus....”
“Hanya mimpi, Nak.” Leon tersenyum. “Makan mie yuk! Kamu lapar nggak?”
“Agak sih.” Dewa tertawa kecil.
Dua tahun mereka pindah ke Yogyakarta. Leon memang mengabulkan keinginan anak itu untuk kuliah di UGM dengan jurusan kedokteran. Pada mulanya, Leon bertanya alasan mengapa Dewa memutar haluan dari biologi menjadi kedokteran, tapi anak laki-lakinya malah kebingungan dan membalas bertanya. “Dulu aku bilang mau masuk fakultas Biologi, ya, Yah?”
Leon mengangguk saja waktu itu.
“Tapi, sekarang, aku ngerasa Kedokteran mungkin lebih cocok dengan aku, Yah. Aku mau ngobatin banyak orang. Aku kepengin nyembuhin orang sakit.” Dewa menjawab dengan gamblang waktu itu dan Leon harus mengangguk menyetujui saja. Kedokteran juga sama baiknya. Semua jurusan sama saja, tergantung minat dan bakat dari si anak. Jadi, Leon tidak terlalu memaksa Dewa harus ke sini atau ke situ. Ia biarkan anak itu memilih.
Keduanya duduk berhadapan di ruang tengah dengan dua mangkuk mie soto sepuluh menit kemudian. Sama-sama membagi tawa dan cerita tentang hari kemarin yang mereka jalani.
“Orang Indonesia belum makan kalau nggak ada nasi,” kata Leon dan berlalu ke dapur untuk mengambil nasi. Dewa tertawa sampai hampir tersedak di tempatnya. Leon kembali dengan tempat magic coom yang berisi nasi. “Nih, makan banyak-banyak, Pak Dokter.”
“Dih, Ayah, masih calon kali.” Dewa menukas.
“Tetep jadi kok. Nanti mau ngambil spesialis apa?”
“Ya ampun, Ayah, kuliah aja baru tahun kedua, udah nanyain spesialis aja.”
“Kan biar tau kamu mau ke arah mana.”
“Iya-iya, Ayah. Entar aku pikirin lagi.”
*
B
utuh waktu cukup lama untuk Adera menata kembali hidupnya yang sempat berantakan setelah Dewa pergi darinya. Wanita itu berusaha menebus dosa masa lalunya dengan selalu mengunjungi panti asuhan dan membagikan kebahagiaan untuk anak-anak di sana. Anak kembarnya lahir dengan selamat dua tahun lalu, setidaknya keduanya menjadi suatu kebahagiaan untuknya. Meski ketika mengulang kisah lalu, ia tidak seperti ini kepada Dewa saat kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...