17 | Takdir yang tidak berjalan beriringan

6.6K 822 82
                                    

Leon memekarkan senyumnya tatkala memasuki rumah minimalis yang beberapa minggu ini menjadi tempat singgahnya sepulang kerja. Ia baru saja pulang dari kantor dan membeli martabak untuk dinikmati dirinya dan Dewa.

Begitu tubuhnya melewati pintu depan, hidungnya langsung menghidu aroma segar dari lantai yang baru saja dipel, perpaduan aroma lemon. “Loh, Dew, ngapain petang-pertang gini ngepel?”

“Kan dua hari lagi kita mau ke Jogja, Yah. Entar rumah malah kotor kalau ditinggalin kosong lama-lama.” Dewa membalas dari ruangan lain. “Bunda mungkin bakal datang, jadi aku nggak mau kalau sampai Bunda bersin-bersin karena debu. Apalagi saat ini Bunda lagi mengandung adek bayi.”

Leon terhenyak di tempatnya. Pria itu menahan napas beberapa jenak usai kalimat Dewa terselesaikan. Adera hamil? Adik? Leon tertawa miris dalam hati, Adera bahkan tidak pernah memikirkan Dewa sebegitunya. “Emang kamu yakin kalau Bundamu bakal datang?”

Ada jeda yang lumayan lama sampai suara Dewa kembali terdengar. “Haha... nggak juga, tapi nggak ada salahnya ngarep, kan?”

“Terserah kamu.” Leon berjinjit melewati lantai yang usai dipel untuk menemui Dewa yang barangkali ada di dapur atau kamar mandi. “Ngomong-ngomong kok kamu tau soal Bunda kamu, Dew? Dia ada hubungin kamu?”

Pria itu melongok ke arah belakang dan mendapati Dewa yang sedang berdiri menghadap mesin cuci. Ketika menyadari kehadiran Leon, Dewa langsung memutar badannya lantas tertawa pelan. “Nggak. Malah Bunda nggak hubungin aku sama sekali sejak pindah ke Surabaya. Ehm, kemarin Nenek nelepon terus cerita banyak soal Bunda. Dia bilang Bunda pulang ke rumahnya dan ada acara makan-makan gitu. Terus ya, Bunda bilang bakal liburan ke Bali akhir tahun ini. Mungkin beberapa hari lagi dia berangkat.” Kemudian wajah Dewa terlihat ragu, membuat Leon mengerutkan kening bingung. “Gini, Yah, kalau Ayah nggak keberatan....”

“Kenapa?” Leon melangkah menghampiri meja makan dan meletakkan kotak berisi martabak ke sana. “Ayah bakal ngabulin kalau nggak aneh-aneh.”

“Menurutku ini nggak aneh sih.”

“Jadi, apa?”

“Sebelum ke Jogja, boleh nggak aku ke Surabaya lebih dulu? Ayah boleh kok ke Jogja duluan. Nanti aku nyusul.”

“Emangnya mau ngapain?”

“Bunda ulang tahun tanggal tiga puluh nanti. Jadi, aku mau ngasih hadiah ke Bunda. Boleh, 'kan, Yah? Nggak lama kok. Aku cuma takut entar nggak keburu sama Bunda yang berangkat ke Bali. Palingan dua hari aku di Surabaya baru nyusul Ayah ke Jogja. Sekalian di Surabaya aku mau ketemu sama Nenek juga.”

Leon mengamati wajah Dewa. Laki-laki itu terlihat berharap sekali diizinkan. Pria itu tersenyum dan mendekati Dewa, tangannya terangkat dan menepuk puncak kepala Dewa dengan sayang. “Oke. Tapi Ayah juga mau ikut ke sana. Biar nanti kita barengan ke Jogja aja.”

“Makasih, Ayah.”

“Sama-sama.”

Leon tidak takut kalau Dewa akan disakiti lagi, sebab dia sudah ada di samping anaknya andai kata laki-laki itu benar tumbang oleh cacian.

*

Dewa
Bunda, kata Nenek, Bunda bakal liburan ke Bali, ya?
Bun, aku boleh ketemu sama Bunda sebelum Bunda ke Bali?

Adera mengusap pelipisnya saat membaca ulang pesan yang dikirim Dewa dua hari lalu. Wanita itu menghela napas sebelum membawa pandangannya ke arah koper yang sudah disiapkan ke dalam bagasi mobil oleh Estu. Selanjutnya, pria itu menghampirinya dan menggandengnya berjalan ke mobil. “Kita senang-senang di sana ya, Dera. Dan coba untuk alihkan pikiran kamu dari Dewa, bisa? Aku lihat akhir-akhir ini kamu terlalu banyak melamun.”

After You've GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang