14 | Tidak sesayang itu

6K 792 44
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Semalam Dewa mengigau banyak hal dalam tidurnya yang terlihat tidak tenang. Laki-laki itu mengatakan banyak hal dengan keadaan tidak sadar, bagaimana hatinya, bagaimana kondisi rasanya menjadi anak seorang Adera, bagaimana rasanya tidak dianggap. Semalaman itu pula, Leon duduk di sisi ranjang dan mendengarkan segala racauan Dewa. Terkadang, pria itu bangkit dan memeriksa suhu tubuh Dewa yang terasa kian membaik. Barangkali Dewa tidak akan mengingat apa yang laki-laki itu racaukan tadi malam, tapi bagi Leon, itu telanjur cukup untuk membuatnya semakin marah dengan mantan istrinya.

Bunda bilang, dia nggak pernah harap aku ada. Dia bilang lebih baik aku nggak ada. Dia bilang juga, aku hampir ngancurin kariernya. Segalanya jadi kacau karena aku. Terus aku harus gimana? Aku juga nggak minta sama Tuhan untuk dilahirkan kok, terus kenapa Bunda malah marah sama aku?

Sepenggal ucapan itu mampu membuat Leon jengkel setengah mati sepanjang malam sampai pagi. Kalau Adera memang tidak menginginkan anak mereka, kenapa wanita itu tidak membiarkan Dewa tinggal bersamanya? Adera bahkan tidak mau mengangkat teleponnya kala ia menghubungi wanita itu untuk menanyakan Dewa. Sampai, Leon menggunakan jalan lain seperti sekarang agar bisa bersama putranya walau dengan diam-diam.

Pagi ini, ia akan membiarkan Dewa tidak bersekolah dan tidak usah pulang ke rumah Adera, dengan tidak membangunkan Dewa sampai pukul tujuh.

“Gimana sama Dewa? Udah baikan?” Mama dari balik kompor menyapanya saat Leon memasuki dapur. Wanita itu menjadi orang pertama yang menyambut Dewa dengan pelukan semalam ketika Leon membawanya datang ke sini.

Leon duduk di kursi meja makan dan menuangkan kopinya. “Tadi pas Leon cek, udah baikan.”

“Mama seneng karena bisa liat cucu Mama lagi. Andai Papamu bertahan, pasti dia lebih bahagia.”

Papanya meninggal sekitar dua minggu lalu karena sakit sesudah dirawat lumayan lama di rumah sakit.

“Ikhlasin Papa, Ma.”

Keduanya meneruskan obrolan pagi mereka sampai derap kaki dari luar area dapur terdengar. Leon langsung disambut oleh wajah Dewa yang terlihat kesal. “Om, kenapa nggak bangunin? Saya terlambat sekolah nih.”

“Hari ini nggak usah sekolah dulu, Dew. Tunggu agak baikan baru sekolah.” Leon bangkit dan menuntun Dewa untuk duduk di sampingnya. “Nanti Om kabarin Bunda kamu. Oke?”

“Nggak perlu, Om. Abis ini aku mau balik.” Dewa menolak halus. Manik matanya berpindah pada sosok wanita tua yang menatapnya. Seketika dia dihinggapi canggung. “Eng... Ne——”

“Panggil Oma, Dewa.” Mama Leon langsung mendekat dan memberi usapan lembut pada puncak kepala anak itu. “Oma udah nyiapin pancake buat kamu. Karena Oma nggak tau kamu mau rasa apa, jadi nanti kamu pake sendiri ya. Oma udah siapin banyak rasa. Ada cokelat, stoberi... rasa pisang juga ada.”

After You've GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang