16 | Sudah terlambat untuk mundur

7.3K 825 64
                                    

Dewa menatap kalung yang berkilau ditimpa cahaya lampu kamar lalu tersenyum. Ini adalah hasil kerja kerasnya selama beberapa bulan belakangan ini. Benda tersebut baru saja dia beli tadi sore di sebuah toko emas dan berencana dia hadiahkan kepada Bunda sebagai kado ulang tahun untuk menggantikan hadiah pernikahan wanita itu yang tidak jadi. Ulang tahun Bunda jatuh tepat tanggal tiga puluh Desember. Dewa juga berencana untuk datang ke rumah Bunda sehari sebelum wanita itu berulang tahun. Mudah-mudahan rencananya berjalan lancar.

Ia masukan kembali kalung tersebut ke dalam kotak kecil lantas menyimpan benda tersebut ke dalam laci meja. Telinganya baru saja menangkap denting bel yang dibunyikan dari pintu depan, bergegas dia beranjak.

Malam telah jatuh beberapa jam lalu, hari ini dia memutuskan untuk izin kerja lantaran sesorean sejak pulang sekolah dia berkeliling toko emas.

Matanya tidak berkedip beberapa jenak kala mendapati figur pria di depannya yang tersenyum menatapnya. “Om Leon?”

“Hari ini kenapa nggak kerja? Saya kira kamu sakit lagi, Dew.” Punggung tangan pria itu langsung menempel ke dahi Dewa yang kontan menegang. “Kamu izin ngapain hari ini kalau bukan sakit?”

“Tadi mau beli barang, Om,” jawab Dewa dengan canggung. Ia teringat pada pertemuan terakhir mereka beberapa bulan lalu yang tidak berakhir baik. Semula, ia kira pria ini sudah tidak ingin bertemu dengannya lagi. Ternyata Leon bahkan menyusulnya ke rumah untuk memastikan dirinya baik-baik saja. Seketika kemarahan yang Dewa simpan beberapa waktu lalu langsung padam. “Masuk, Om. Tenang, Bunda nggak ada di rumah.”

Tau, dia pindah ke Surabaya sama suami barunya dan ninggalin kamu sendiri di sini.

Leon mengangguk dan langsung mengikuti langkah Dewa menuju ruang tengah.

“Saya bawa pop mie.” Leon mengeluarkan barang yang dia tenteng sejak tadi dan diserahkan pada Dewa. “Mendung gini mending makan mie.”

Dewa tersenyum kikuk lalu menerimanya. Kebetulan dia sedang lapar dan di kulkas tidak tersedia apa-apa. “Om tunggu di sini, saya ambil air panas dulu.”

“Saya ikut ke dapur.”

Sejurus kemudian keduanya berjalan menuju dapur yang terletak di sebelah kiri ruang tengah. Tidak banyak yang mereka katakan selain pertanyaan basa-basi dari Leon. Lalu, tepat pukul delapan malam, hujan turun dengan deras, mencegat langkah Leon yang akan pulang. Alhasil, pria itu tertahan lebih lama di rumah minimalis tersebut.

“Om, sebenarnya saya mau bilang ini dari tadi,” ujar Dewa seraya membuang pandangannya ke jendela besar.

Leon bergumam menanggapi. “Apa?”

“Saya minta maaf udah bentak-bentak Om beberapa bulan lalu. Waktu itu saya kebawa emosi.” Dewa menunduk. “Sebenarnya saya juga bingung kenapa Bunda ngelarang saya ketemu sama Om.”

Karena saya ayah kamu, Dew.

“Terus sekarang kamu ketemu sama saya loh, Dew?”

“Saya jujur aja kali, ya? Begini, nggak tau kenapa, akhir-akhir ini saya nganggap Om adalah ayah saya. Saya ngerasa ada kehilangan waktu Om nggak lagi hubungin atau berusaha buat nemuin saya.” Wajah laki-laki itu memerah.

Leon dibuat kaget sebelum kemudian tertawa pelan dan berujar satu kalimat. “Kalau gitu, kamu boleh kok manggil saya Ayah. Why not?”

Dewa menatapnya dengan mata berbinar. “Nggak apa-apa?”

“Kenapa harus apa-apa?”

Lalu Dewa ditarik Leon ke dalam sebuah rangkulan hangat khas seorang ayah. Saya emang ayah kamu, Dew, jadi tentu aja nggak apa-apa. “Liburan semester jalan-jalan mau nggak? Ayah kepengin ke Jogja nih. Oma ada di sana.”

After You've GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang