Saat kecil dulu, Dewa mempunyai banyak cita-cita. Menjadi dokter, guru, tentara, bahkan polisi sekalipun. Laki-laki kecil itu akan menyebutnya dengan wajah lucu. Sayangnya, begitu beranjak dewasa, lebih tepatnya sesudah tahu bahwa Bunda benar-benar tidak menginginkannya, deretan profesi membanggakan semasa kecil itu tidak lagi ia sebut. Dewa hanya akan diam beberapa jenak kala ditanya sebelum mengulas senyum tipis dan menjawab, “Mati.”
Lalu ketika orang yang bertanya terdiam kaget, Dewa langsung menyambungnya. “Kalau Dewa mati, katanya Bunda bakal bahagia. Selama ini, saat aku ada, Bunda nggak kelihatan bahagia.”
Dewa membuang napasnya dan beranjak dari duduknya. Kaki panjangnya menuntun ke balkon, ia duduk di kursi malas yang tersedia di sana, lalu mencabut sebuah kotak dari ganjalan kursi, berikut mengambil pemantik dari saku celananya. Dewa punya beribu cara untuk mengalihkan diri dari perilaku menyayat tangan, tapi tetap saja ketika sakit di hatinya terlalu besar, melukai diri sendiri adalah cara terbaik. Untuk orang umum, tindakannya memang sangat mencirikan orang bodoh. Dewa berusaha mengurangi perilaku berbahayanya, barangkali dengan melarikan diri pada embus rokok, setidaknya sampai saat ini, tembakau berhasil menjadi pelariannya.
Mata Dewa menyipit kala menangkap sebuah kendaraan roda empat memasuki pekarangan rumah, itu jelas bukan mobil Bunda. Lalu laki-laki itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul tujuh malam, dan Bunda jarang pulang di jam segini. Wanita itu punya jadwal syuting sampai tengah malam, atau menghadiri acara talk show.
Butuh waktu setidaknya satu menit sampai ingatan Dewa tertuju pada seseorang.
Kakek dan Neneknya.
Iya, orang di mobil itu pasti kakek dan neneknya. Orang tua dari pihak Bunda, tentu saja.
Dewa bergegas mematikan bara rokok dan berlari keluar dari kamar, ia buka pintu utama bahkan sebelum pria tua yang dulu menjadi orang yang paling dia takuti mengetuk pintu—mungkin sekarang masih—lalu tersenyum canggung kala tatapan mereka saling bertabrakan. “Kakek. Lama nggak——”
Alih-alih membalas sapaan Dewa, pria tua yang barangkali sudah menginjak tujuh puluh itu, melenggang masuk ke dalam rumah. Tubuh tuanya yang masih kekar menabrak bahu Dewa sampai laki-laki kurus itu tersentak ke belakang. Dewa menghela napas lalu ganti menyambut Nenek yang melangkah ke arahnya. Setidaknya, wanita itulah yang menyayanginya selain Mbak Putri. Dibuktikan dengan Nenek yang langsung menarik Dewa dalam pelukan hangat.
“Nenek kangen sama Dewa. Kenapa nggak pernah ngunjungi Nenek sih?” Wanita itu mengusap punggung Dewa. “Kamu kurusan deh, Dew. Nggak makan, ya?”
Dewa terkekeh. Ia membenamkan dirinya dalam peluk sang Nenek. Pelukan yang tidak pernah dirasakannya dari Bunda. “Makan kok, Nek. Nenek sama Kakek kenapa sampainya malam banget?”
“Iya, temen Kakekmu tadi dateng ke rumah pas kami mau udah mau jalan. Ya diladenin dulu.” Nenek melepas peluk dan menuntun Dewa untuk memasuki rumah. Di belakang mereka, seorang pria berwajah sangar mengekor dari belakang sambil membawakan koper. Pria itu sopir keluarga Kakek di Surabaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...