“Jadi, Bunda akan menikah, Mbak?”
Perempuan di balik kemudi itu memandang Dewa lewat spion dan membuang napas gelisah. Wajah Dewa terlihat dikabuti sendu. Ah, ngomong-ngomong hari ini hari pertama remaja itu menginjakkan kaki di kelas duabelas, jadi Mbak Putri berinisiatif mengantarnya ke sekolah, mumpung Adera sedang pulang ke Surabaya untuk mengurus beberapa keperluan. Wanita itu bercerita tentang pernikahannya yang akan ia laksanakan tanggal duapuluh Agustus bulan depan. Semestinya wanita itu juga mempertimbangkan Dewa, tapi nyatanya wanita itu bahkan tidak memberitahu anak laki-lakinya.
“Pertanyaannya retoris banget ya, Mbak.” Dewa tertawa pelan lantaran menunggu jawaban Mbak Putri yang tidak kunjung meluncur. “Nggak perlu dijawab, Mbak. Aku tau kok.”
Mbak Putri meliriknya lagi. “Dew, kamu tau kan kalau meskipun Bundamu udah nikah, kamu nggak akan pernah sendiri?” Perempuan itu mengambil sesuatu dari dashboard lalu mengulurkannya pada Dewa. “Itu hape dan kartu kreditnya. Bundamu nyuruh Mbak ngasih ke kamu. Anyway, dia udah tau kamu kerja sampai pulang subuh——”
“Mbak ngasih tau Bunda?” Dewa membelalakkan matanya.
“——dia berhak tau biar nggak menuduh kamu aneh-aneh. Soal Mbak yang ngasih tau Bundamu kalau kamu kerja, i'm sorry.”
Dewa tidak menjawab apa-apa lagi, bahkan sampai mobil mereka tiba di depan sekolah yang sudah mulai terlihat padat. Banyak siswa-siswi berseragam putih-biru—peserta MPLS—berkeliaran di dekat gerbang. Sesudah berpamitan pada Mbak Putri, Dewa lekas keluar dari mobil sembari menyalakan ponselnya yang mati total—semula ia kira benda itu tidak berdaya dan ia berencana akan meminjam casan ke Kava—tapi ponsel tersebut bergetar pelan lalu menampakkan logo ponsel, semenit berikutnya layarnya berganti mode menjadi lockscreen. Dewa menahan napasnya, bagian jari tengah dan manisnya meraba bawah case yang rata, padahal sebelum diserahkan kepada Bunda, masih agak menggelembung karena dia selipi kertas berisi tulisan absurd. Detik selanjutnya Dewa sadar, kertas itu sudah dibaca oleh Bunda.
Laki-laki itu menoleh sekali lagi ke belakang, menatap mobil yang tadi mengantarnya sudah ditelan kelokan. Atau Mbak Putri yang membacanya?
“Oi, ngelamun aja lo, Dew. Baru masuk semester satu muka lo udah kuyu,” seru seseorang sembari merangkulnya dari samping. Itu Kava.
Dewa menoleh kaget kemudian berdecak. “Ngagetin aja lo, Kav.”
“Gue udah pilih meja yang paling pojok. Jadi, yuk, kita otw kelas.”
“Kita sekelas?” tanya Dewa usil.
“Yaiyalah.” Kava mendatarkan wajahnya, lantas menyeretnya. “Gue pagi-pagi dateng cuma buat nyari bangku paling pojok. Terus nungguin lo dateng tapi lama amat, ya gue samperin aja lo di gerbang.”
Kava yang setia kawan, dan Dewa salut dibuatnya.
*
H
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...