13 | Nyatanya memang begitu

5.7K 826 44
                                    

Om Leon
Hari ini nggak masuk kerja, kenapa?

Usai baringan di kasur seharian, Dewa akhirnya memutuskan untuk membuka ponselnya dan lumayan terkejut mendapati pesan dari Leon. Hubungan mereka memang bisa dikatakan seerat itu, sampai setiap kali ia izin dari kerja, Leon pasti akan mengiriminya pesan berisi pertanyaan.

Dewa
Sakit, Om. Hehe.

Om Leon
Sakit? Sakit apa? Demam?
Udah minum obat?

Dewa
Iya. Udah.

Om Leon
Udah makan?

Dewa
Makan malam belum sih

Om Leon
Kalau gitu, makan sama-sama aja yuk! Mau nggak? Kepengin makan apa? Abis dari kantor, Om singgah ke rumahmu ngantar makanan.

Dewa
Nggak perlu, Om. Nanti saya masak sendiri.

Dewa kira, percakapan mereka memang berakhir di situ saja, tapi ternyata dua menit kemudian sebuah permintaan video call terpampang dari Leon, membuat kening Dewa mengerut spontan. Dan menerimanya. Seketika layarnya dipenuhi oleh wajah Leon di dalam mobil. Pria itu terlihat fokus menyetir.

“Lah, Om?”

Jadi, kepengin makan apa? Om beliin. Samyang? Fried chicken with——

“Sate,” jawab Dewa cepat sebelum Leon mengabsen segala makanan mahal lainnya. “Nggak perlu Om bungkus. Saya mau makan di tempatnya.”

Leon menatapnya sejenak. “Oke. Saya jemput di rumah aja, ya. Kita makan bareng.”

“Saya tunggu di depan, Om.”

Setelah sesi singkat video call tersebut, Dewa langsung beranjak dari kasur dan menyambar hoodie merah dari hanger pintu lalu berderap keluar kamar. Angin malam berembus pelan membelai wajah pucatnya, berkali-kali Dewa menghela napas dan memandang ujung jalan yang tak kunjung memunculkan mobil familiar tersebut.

Dewa menyentuh pergelangan tangannya, lantas menyingkapnya sedikit untuk mengintip luka sayatan yang tidak pernah dia sentuh lagi. Dia memang belum sepenuhnya sembuh, acap kali saat luka di hatinya tidak bisa terlampiaskan, ia akan menyayat lagi. Bagusnya, belakangan ini dia jarang mendapatkan kalimat jahat lagi, atau karena dia memang lumayan sibuk bekerja sampai melupakan segalanya.

“Dew, ngelamun aja. Yuk, cepetan. Om lapar nih.” Leon membuka setengah kaca mobilnya dan menatap sang anak dengan senyuman tertahan. “Mau makan sate di mana, Dew? Request tempatnya, Om anterin.”

Dewa masuk ke bangku penumpang dan duduk di sana. “Terserah deh, Om. Yang mana aja asal sate.”

“Sate ayam? Sate kambing? Sate sapi? Sate kelinci? Sate——”

“Ayam.” Dewa menjawab lalu melipat tangannya di depan dada, sebelah pipinya ia tempelkan ke kaca mobil, sementara matanya terpancang pada langit malam di atas mereka. “Sebenarnya saya lagi sedih, Om.”

Leon melirik Dewa melalui spion dan tertawa pelan. “Patah hati? Mau curhat ya, Dew? Silakan, Om dengerin kok.”

Dewa berdecak. “Nggak ada. Ngapain patah hati kalau cewek aja nggak punya.”

After You've GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang