Dewa tidak pernah berpikir akan saling duduk berhadapan dengan pria necis itu. Bahkan walau hanya duduk begini, aura mengintimidasi sudah terasa dengan jelas. Dewa sampai dibuat tidak berkutik walau lewat tatapan yang dilayangkan pria itu.
“Jadi, kamu Dewa?”
“Iya, Om.”
“Mirip ya dengan Dera. Kurang lebih begitu.” Estu memberikan senyum tipis. “Pak Joan cerita tentang kamu ke saya lumayan banyak.”
Dewa hanya berdeham.
“Udah tujuhbelas tahun, 'kan? Kalau iya, saya rasa kamu udah dewasa untuk memahami betapa sakralnya sebuah pernikahan. Dan untuk anak laki-laki seperti kamu, saya melihat dengan jelas bagaimana kamu menyayangi Bundamu. Benar?”
Dewa masih tidak paham dengan arah pembicaraan Estu.
“Saya mencintai Bundamu bahkan sebelum skandal itu muncul tujuhbelas tahun lalu. Kamu hitung aja berapa lama saya menunggu sosok Adera? Bisa sekisar duapuluh tahun dan pada akhirnya hari ini datang.” Estu tersenyum simpul ke arah Dewa yang dibuat terkejut. “Jangan kaget, sebenarnya kami teman sekolah dulu. Mungkin dia yang lupa pada saya.”
“Jadi, intinya apa, Om?”
“Kamu nggak akan memaksa Bundamu untuk membatalkan pernikahan itu, 'kan? Selama ini dia nggak keliatan bahagia sama kamu. Kamu tau nggak kenapa rutinitasnya banyak sekali di luar selain jadwalnya sebagai publik figur? Ya, untuk menghindari kamu. Saya rasa juga, walau kamu membujuk dia seperti apa, dia nggak akan membatalkan segala pernikahan yang udah dirancang hanya demi kamu. Sekali lagi, Adera bahkan lebih menyayangi papanya daripada kamu.” Pria itu bangkit dari duduknya, melirik sebentar pada Adera yang baru muncul dari balik tangga. Estu menyunggingkan senyum lalu melambaikan tangannya. “Sampai ketemu di Surabaya, Dera.”
Lalu Estu meninggalkan rumah minimalis mereka.
Dewa tercenung di tempatnya, kata-kata itu masih terngiang dalam kepalanya. Estu baru saja melayangkan sebuah ancaman agar dia tidak mengganggu pernikahan Bundanya?
Dewa ikutan berdiri dan mengejar langkah Estu yang sudah hampir mencapai teras. Menahannya dengan cekalan di pundak. Estu terkaget dan mengira akan merasakan tinjuan melesat di pipinya atas perkataannya barusan tadi. Sayangnya, prediksinya salah. Yang dia dapat justru tampang datar Dewa. “Nggak usah cemas kalau saya akan meminta seluruh dunia untuk menolak pernikahan kalian. Saya setuju kalau Bunda bahagia dengan Anda dan nggak akan segan untuk memberi pelajaran kalau aja Anda menyakiti Bunda.”
Estu mendengkus. Merasa geli dengan ucapan sok jago Dewa. “Oke. Kalau gitu, silakan liat cara saya membahagiakan Adera.”
Dewa tersenyum kecil sebelum melepas cekalannya dan membiarkan pria itu pergi dari hadapannya. Dewa tidak tahu, bagaimana Adera menyimak segalanya dari belakang dengan dada menyesak. Sebelum Dewa menyadari eksistensinya, wanita itu bergegas kembali ke kamarnya. Lalu duduk di tepi ranjang dan memandang kosong ke arah pintu.
Dewa menyayanginya dengan sungguh, Adera tidak mampu menyangkalnya di bagian itu.
Fakta itu entah mengapa membuatnya semakin merasa berat untuk bersama Estu. Terlebih kesepakatan yang mereka bicarakan dua hari lalu: untuk tidak membawa Dewa ke dalam rumah tangga mereka sesudah menikah.
*
Seharian ini Kava terganggu dengan suara batuk Dewa. Wajah laki-laki itu merah padam karena terbatuk sejak pagi. “Dew, kalau sakit mending ke UKS. Gue denger lo batuk aja kerasa sakit nih tenggorokan.”
Dewa meliriknya. “Nggak. Bentar lagi udah pulang.”
Menginjak dua minggu sudah mereka berada di kelas duabelas, entah apa yang merasuki para guru sampai terus-terusan memberi soal latihan serta tugas rumah yang banyak. Dewa sampai agak kesulitan membagi waktunya antara bekerja dan sekolah. Sampai mau tidak mau, sepulang bekerja dia lanjut mengerjakan tugas sampai pagi dan sekolah, sepulangnya bekerja lagi, begitu terus selama dua minggu ini. Dan batuk ini adalah pertanda ia akan demam—selalu begini gejalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...