Hari keempatbelas, Dewa kembali membuka matanya dan Leon langsung menyambutnya dengan tangis bahagia. Memang, sejak hari pertama Dewa tertidur, Leon tidak pernah beranjak dari anak laki-lakinya. Tidak pernah sekalipun. Meski ketika mata Dewa terbuka dan menatapnya, ada sorot asing yang membuat Leon tersenyum dan mengatakan satu hal yang mampu membuat Dewa balas tersenyum.
“Ini Ayah, Dewa. Ayah kamu. Makasih udah bertahan. Makasih udah tetap bersama Ayah.”
“Sama-sama,” balas Dewa membisik.
Dewa terbangun, tapi tidak dengan ingatannya yang tertidur. Potongan memorinya raib begitu saja bersama dengan membukanya dua manik tersebut. Ia tidak ingat pada siapapun yang pernah ada di kehidupannya sebelum kecelakaan itu terjadi. Leon merasa dia cukup egois karena senang dan dapat memanfaatkan keadaan ini untuk membuat laki-laki itu lebih bahagia, dengan membawanya pergi dari kota ini nantinya. Leon juga tidak berusaha mengingatkan Dewa tentang Adera atau siapapun itu yang pernah melukai Dewa demikian dalam.
Adera tidak diizinkan menjenguk. Wanita itu selalu disuruh kembali bahkan sebelum kakinya menyentuh kamar rawat.
Sebagai ganti ketika Leon ada urusan di luar, mama dari Leon yang akan menjaga Dewa dari kesepian atau kedatangan orang asing.
“Kamu ingat janji kamu sama Oma?”
Dewa menatapnya dengan alis terangkat lalu menggeleng menyesal. “Maaf, Oma, Dewa nggak ingat apapun.”
“Nggak apa-apa. Oma yang akan mengingatkannya nanti sama kamu. Asal kamu sembuh lebih dulu ya.” Oma mengusap puncak kepala Dewa. “Mau makan ap——”
Kalimatnya terpotong begitu saja ketika suara pintu yang menjeblak terbuka tiba-tiba terdengar. Dua pasang mata itu menatap sumber suara dengan terkejut.
“Dewa,” bisik Adera dengan air mata di ujung.
“Ehm... hai, Tante? Temannya Ayah?”
Tapi, satu pertanyaan itu sanggup membuat harapan yang Adera pupuk setinggi gunung, hancur serata tanah. Tanpa kata, wanita itu langsung berbalik keluar, meninggalkan Dewa dengan sejuta tanya dalam benak. Laki-laki itu tercenung sebelum mengalihkan tatapannya pada Oma.
Wanita itu lantas tersenyum, tangan keriputnya bergerak membetuli selimut Dewa. “Iya. Dia temen Ayah. Bentar, ya, Oma susulin ke luar. Kamu di sini ya.”
Dewa mengangguk.
Oma keluar dari ruangan. Setelahnya, Dewa hanya ditinggal sendirian di ruang rawat bersama keheningan dan rasa penasaran setinggi gunung. Pasalnya, wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan ini seperti mengingatkannya pada seseorang, yang tidak pernah bisa dia ingat siapa.
☉
“Amnesia retrograde.” Keduanya duduk di bangku taman seraya memandang pada beberapa perawat yang berlalu-lalang. “Dia kehilangan semua ingatannya. Termasuk tentang kamu.”
Adera menatap Oma dengan nanar. Sekali lagi air mata meluruh dari pelupuknya. Wanita itu meremas kedua tangannya dengan gusar. “Kalian manfaatin keadaan ini untuk bawa dia? Kalian licik banget, ya.” Ia berujar dengan intonasi pelan.
“Adera, bukannya saya mau menyudutkan kamu. Tapi, kamu ingat apa yang kamu lakuin ke dia selama tujuhbelas tahun tinggal dan hidup sama kamu? Kamu mengabaikan dia, kamu menganggapnya seolah tidak ada, nggak cukup sampai di situ kamu juga nikah dan ninggalin dia sendiri di rumah. Kamu tau dia kesepian. Kamu tau dia self injury tapi bahkan kamu ngatain dia gila alih-alih membawa dia ke seseorang yang bisa membantunya. Dia tidak bahagia, Adera, dan kamu tidak peduli sama sekali. Maka dari itu, keputusan untuk membawanya tinggal bersama kami adalah yang terbaik.” Oma tersenyum lebih tulus dan menepuk pundak Adera beberapa kali. “Saya ngomong sama kamu sebagai ibu kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...