HAAHH?!! (2)

317 34 18
                                    

MAKIN-MAKIN INI PART. MAKIN GA JELAS MAKSUTNYA, GA BOONG✌

Hepi Diringg

Mata indah Aretta mengerjap pelan, menatap lurus sang Ayah yang saat ini tersenyum lembut di atas brankar.

"Pah, Papah ga lagi geger otak kan?" Pastinya. Sontak Adrian melotot tak percaya.

"Kamu ini, kalo ngomong suka asal ceplos aja!"

"Ya, lagian Papah mintanya aneh-aneh aja."

"Aneh gimana? Papah cuman minta pertanggung jawaban dia."

"Ya, ga nikah juga Pah!" Geram Agadis itu. Dia tak habis pikir, si Papah mau nikahin dia sama orang yang jelas ga dia tau asal usulnya. Gimana ga Aretta kira geger otak coba?

"Nak Dava, gimana? Kamu mau?" Aretta menegok kearah Dava.

Mulutnya terbuka lebar, matanya melotot tak percaya. Pemandangan ini membuat tawa Aretta terpancing.

"Gila komok lo!" Cetus Aretta dengan tawa berderai. Segera, Dava mengerjapkan matanya pelan.

"Om, Om ga lagi halu kan? Ga lagi ngira kalo saya ini pacar anak Om? Atau saya tek dung-in anak om yang cantik tapi galak ini?"

Aretta mengumpat dalam diam. Tek dung biji mata lo!

"Om sehat wal'afiat kok. Om ngomong kaya tadi lagi dalam keadaan sadar 100%."

"Tapi Om, i-itu ga ada yang lebih enteng lagi apa Om. Saya rasa, rindunya Dilan masih lebih enteng deh. Ya, walau uang 1M masih terberat diantara segalanya."

"Lho, ini enteng lho. Kamu cukup nikahin anak Om, jagain dia, nafkahin dia yang ga sampe nguras uang 1M dari kamu, dan beres."

"Cukup Om? Masyaallah! Apa salah dan dosa Baim? Baim minta maap kalo Baim banyak dosa, tapi jangan siksa Baim dengan cobaan seberat ini, ya Allah." Dava menadahkan tangannya keatas.

"Pah, Retta keluar dulu, mau cari makan. Masalah omongan ngelantur Papah tadi, nanti Retta pikir lagi."

Cup

Cup

"Get well soon Pah,"

Tanpa mendengar balasan dari Adrian, Aretta keluar dari ruang rawat Papahnya itu. Mungkin udara segar ia butuhkan saat ini. Mengingat jalan hidupnya yang sangat rumit.

🌁

Menarik nafas panjang, Aretta menunpukan kedua tangannya dipembatas dinding, serta menutup kedua kelopak matanya. Merasakan hembusan angin sore yang menerpa kulit putih diwajahnya.

Untuk sebentar saja, ia ingin merasakan kebebasan. Walau hanya sedetik.

"Kamu ngapain di sini?" Aretta menengok dengan cepat. Ia kira security, tapi ternyata bukan. Hanya salah satu dari sekian banyak Dokter yang bekerja di sini.

"Nyari angin," jawabnya jujur.

"Hmm, siapa nama kamu?" Tanyanya sambil berjalan mendekati Aretta.

"Nanya saya?" Dokter itu mengangguk. "Aretta." jawabnya dengan senyum tipis.

"Aretta, nama yang bagus."

"Trimakasih."

"Saya Rivaldi, biasa dipanggil Aldi." Kata Dokter tersebut sambil mengulurkan tangan kearah Aretta yang disambut dengan suka hati oleh gadis itu.

"Nama yang, lumayan pasaran." Komentarnya, Aldi tertawa cool.

"Ya, daripada saya ga punya nama."

"Hmm,"

"Siapa yang sakit?"

"Papah."

"Ooh, sakit apa?"

"Jantungnya bocor dan bertambah parah karena tadi beliau kecelakaan."

"Saya turut prihatin, semoga cepat sembuh."

"Makasih, lagi."

"Mau duduk?" Aretta melirik sebentar. Lalu mengangguk, meng-iyakan.

"Dokter ga ada praktek?"

"Udah selesai, biasanya saya kesini dulu sebelum pulang." Aretta hanya manggut-manggut paham. "Panggil saya Aldi aja, dan ga usah pake saya-kamu. Lo-gue aja, gue santai orangnya."

"Iya, gue coba."

"Jadi, ada masalah?" Aretta mengerutka kening dalam. "Gue Dokter psikis. Tau, mana orang yang bener-bener 'nyari angin' dan yang coba ber-alibi untuk menutupi sesuatu."

Aretta mendesah panjang. "Kayanya, gue salah deh ketemu lo hari ini." Sinisnya tajam, Aldi terkekeh mendengar nada sinis itu.

"Maybe, yes. Tapi gue suka ketemu lo hari ini,"

"Gue yang ga suka."

"So, masalah berat? Dari nafas lo dan cara lo menghirup udara dengan rakusnya itu, cukup menjelaskan seberat apa masalah lo."

"Cukup! Jangan trawang gue lagi. Jagan-jangan lo tau lagi daleman gue!" Tuduhnya. Aldi tertawa, kini terdengan lebih ... bebas?

"Kayaknya gue bakal awet muda kalo deketan mulu sama lo, bikin gue ketawa mulu soalnya."

"Ya, tapi gue bukan badut!"

"Oke, gue setuju. Lo cantik kok, masa iya disamain sama badut."

"Lo satu dari satu juta koma sembilan sembilan koma sembilan koma enol enol orang, yang bilang kalo gue cantik. Dan untuk yang ketiga kalinya, makasih."

"Sama-sama."

Hening

Baik Aretta maupun Aldi sama-sama terdiam. Tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Keduanya mengunci rapat mulut masing-masing. Membiarkan angin yang mengisi keheningan ini.

"Papah mau nikain gue sama orang yang nabrak dia," Mulai Aretta.

Entah mengapa, ia rasa, menceritakan masalahnya keorang lain. Yaa, walau orang baru, bukan jadi masalah. Toh, menceritakan yang menjadi beban niscaya akan membuat beban yang dipikul sedikit meringan.

"Lo mau?"

"Jelas engga,"

"Uda ada pasangan sendiri?"

"Engga juga." Aretta menggeleng pelan.

"Ya, diterima aja. Pilihan orang tua itu yang terbaik."

"Masalahnya, Papah baru ngeliat orang itu sekarang. Dan malah minta kita nikah saat ini juga."

"Cowo itu mau ga?"

"Jelas enggalah, kata dia berat. Lebih berat dari rindunya Dilan. Eh, yang ngomong gitu si Papah ding." Tawa Aldi terdengar lagi.

"Kalo gue cowo yang Papah lo suruh nikahin lo, gue dengan senang hati mau."

"Gue yang seperempat hati nerimanya."

"Cowo itu mana sekarang?"

"Ga tauu,"

Ciitt

—Mon maap, bukan tikus

Muncul seekor—seorang pemuda dengan baju casual -nya berdiri di depan pintu rooftop.

"Lo ngapain?" Sambar Aretta cepat.

"Siapa?" Tanya Aldi.

"Orang gila." Jawab Aretta asal, lantas bangun dari duduk. Menghampiri Dava.

"Bokap lo nyariin lo," Aretta manaikkan sebelah alisnya, menunggu kelanjutan dari ucapan Dava "Udah nunggu di kamar rawatnya, sama saksi dan penghulu."

"Peng—HAAHH??!!" Mata Aretta membola seketika.

Penghulu? Waaaah, kayaknya Dava otaknya udah geser deh.

Gimana?? Serukan!! Lanjut ga?

VOMENT dulu duuuunggg!!!

Suddenly MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang