Maaf

93 6 2
                                    

INI BENERAN MAAF BANGET YA, AUTHIR LUPA APDET SEMALEM:)) KETIDURAN:V

📌PART UWU, MENURUTKU

📌Tandai typo!

Hepi Ridingg

Dava masih berdiri di tempat awal. Kakinya sama sekali enggan untuk beranjak, walau hanya selangkah, berat rasanya.

Sudah berulang kali ia mengetuk pintu yang berada tepat di hadapannya, namun hasilnya sama. Tak ada sahutan dari dalam. Rasa bersalah mulai merembet kehati kecilnya.

Apa, tadi dia terlau keras dan kasar dengan Aretta?

Pertanyaan itu yang sejak tadi mendominasi fikirannya. Ada banyak, namun hanya satu itu yang terus berputar berkali-kali dalam otaknya.

Tok ... tok ... tok

"Ta? Buka dong, gue mau masuk." Entah sudah kali keberapa ini, tapi Dava masih tak menyerah. Ia masih akan tetus berusaha sampai mendapat apa yang ia inginkan.

Tok ... tok ... tok

"Ta ... ga kasian apa sama gue? Ini gue kaya pengemis kurang makan gini."

Hening

Masih tidak ada jawaban. Dava membuang nafasnya pendek. Andai saja, tadi ia bisa lebih mengatur control-nya, mungkin hal ini tak akan terjadi. Akh, Dava memang tolol!

"Ta ... ayolah, gue minta maaf."

"Taa ... buka dong,"

"Taa ... gue mau masuk, malu diliatin tetangga."

"Taaa ... lo ga kasin apa sama gue,"

"Taa ... nelangsa bat ini idup gue,"

"Aretta Kanya Wijaya! Buka pintunya! Gue dobrak ini pintu." Cara terakhir yang ia punya, mengancam. Dirinya sudah terlalu lelah mengemis seperti tadi tapi tak dikasihani.

Biarlah, ini cara tetakhir. Jika masih tak berhasil? Mau tak mau, ia kembali menunggu sampai Aretta sendiri yang dengan lapang hati membukakan pintu untuknya.

Satu menit

Dua menit

Tiga menit

Dava harap-harap cemas, takut ancamannya tadi tak diindahkan oleh gadis galak itu. Tapi dugaannya salah, dimenit kelima, Aretta membukakan pintu untuknya. Walau tanpa kata, gadis itu meninggalkannya sendirian, lagi.

Dava mengekori kemana Aretta pergi, persis seperti anak kucing yang takut kehilangan ibunya.

Gadis itu mendudukan diri kesalah satu kursi yang ada di meja makan, mulai memakan makannya dengan tentram. Menganggap kehadiran Dava tak kasat mata.

Dava yang melihat itu sedikit kesal, namun ia mencoba meredam semuanya dalam satu tarikan nafas panjang.

"Taa?"

"Diem!" Bentaknya. Dava bergeming, sedikit ciut dengan suara dingin dan ketus milik Aretta barusan.

"Ta, gue mau min—"

"Gue bilang diem, ya diem!" Setaknya lagi, kali ini berbeda. Sendok yang sedang ia genggam, dilemparnya dengan kencang hingga beradu dengan piring.

Dava bungkam. Ia tak mau banyak bicara lagi, takut-takut nanti Aretta akan menggereknya paksa untuk keluar dan tak lagi membukakan pintu untuknya.

Aretta sediri tak lagi melanjutkan aksi makannya. Mood-nya menguap begitu melihat dan mendegar suara laki-laki yang beberapa jam lalu memaki-maki habis dirinya dan sang Papah.

Dalam diamnya, Aretta pergi meninggalkan dapur menunuju keruang kelaurga tanpa mau repot melirik kearah Dava. Gak sudi, katanya.

Gadis itu duduk sambil terus menggnti acara TV yang meurutnya cocok. Dava? Masih terus mengikuti Aretta, bedanya, kali ini cowok itu hanya berdiri. Tak berani mendatangi Aretta apalagi duduk di samping gadis galak itu.

"Ta? Gue duduk ya?"

Hening, hanya ada suara volume TV yang mungkin memang dengan sengaja Aretta besarkan.

"Ta? Boleh ya?"

"Hng,"

"Akhirnya," gumam Dava tanpa sadar. Kali ini dia berani mendudukan bokongnya tepat di samping kanan Aretta.

"Jauhan." Titah gadis itu, masih ada nada dingin yang menyertainya. Dava yang berniat duduk dekat Aretta hanya bisa menelan keinginannya bulat-bulat.

"Ta?" Paggilnya pelan. Kini posisi duduknya, tepat menyamping kearah Aretta yang menatap lurus kedepan. "Ta ..." panggilnya, lagi.

Aretta tak bergeming. Entahlah, terlalu malas meghadapi Dava dengan mulut lemeshnya itu. Tapi tindakan Dava selanjutnya membuat Aretta, mau tak mau memusatkan pehatiannya pada pemuda itu.

"Gue minta maaf, ya?" Katanya lembut. Ia meremas pelan tangan Aretta yang berada digenggamannya. Mata pekatnya menatap Aretta penuh harap.

"Lepas."

"Ta, gue salah. Gue minta maaf, ya?"

"Lepas!"

"Aretta please, Gue tadi khilaf. Sumpah!"

"Le.pas." saat Aretta menarik paksa tangannya yang berada digenggaman Dava, pemuda itu tak tinggal diam. Ia menahan tangan mungil Aretta dengan tenaganya, beradu kekuatan dengan gadis keras kepal ini.

"Gue minta maaf, Ta. Sumpah gue ga maksut kaya tadi, gue khilaf,"

"Lepas Dava."

"Gak, sebelum lo maafin gue."

"Lepas atau gue teriak?" Ancamnya.

"Diem atau gue cium." Aretta bungkam, aksi memberontak yang ia lakukan berhenti begitu saja. "Maafin gue, tadi gue kasar banget sama lo. Gue salah, maaf, maaf, maaf ..." lanjut Dava lagi. Kini kedua mata pemuda tampan itu tertutup sempurna dengan kepala yang tertunduk. Kata maaf terus saja meluncur dari mulutnya.

Dalam diamnya, Aretta menangis. Menangisi semua kata-kata yang tadi dilemparkan untuknya dan sang Papah, oleh Dava.

Bukan tanpa alasan ia tak mau membukakan pintu untuk Dava, ada alasan besar dibalik itu. Salah satunya, sakit yang ia rasakan tepat pada ulu hatinya.

Merasa tak mendapatkan jawaban dari Aretta, Dava membuka mata dan mendongak. Ia mendapati Aretta yang sedang menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menutupi isak tangisngnya. Segera Dava merengkuh tubuh mungil Aretta. Mengusap perlahan belakang kepala sampai pada punggung gadis itu.

"Maaf Ta, maaf gue gak maksut ngomong kayak tadi. Gue khilaf, gue ngaku salah. Maaf ..." racau Dava. Bibir tebal miliknya ia tempatkan tepat di puncuk kepala Aretta, memberinya kecupan-kecupan kecil nan menenagkan untuk gadis yang berada di dekapnnya kini.

Isak tangis mulai terdengar. Aretta tak lagi menyembunyikan tangisnya. Biarlah, ia tak masalah bila nantinya diejek cengen. Yang saat ini ingin ia lakukan hanyalah, mengungakapkan emosinya dengan tangis.

Alohaa, alohii!! Gimanah? Baperkah? Atau b aja kah? Atau apakah? Haha

Vommentnya jan lupa lhoooo, aku tunggu slalu

Suddenly MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang