five

1.5K 174 1
                                    

Irene dan Jennie duduk dengan napas terengah-engah akibat berlari, mereka memutuskan untuk berhenti di pos sekolah yang tentunya dekat dengan gerbang masuk sekolah.

Setelah beberapa menit berdiam diri, Jennie memutuskan untuk melihat keadaan sekitar. Saat dirasanya sudah lebih baik, barulah ia mengajak Irene untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Namun, entah apa yang menarik perhatian Jennie sehingga gadis itu perlahan berjalan ke arah gerbang.

Dikunci.

Parahnya lagi, gerbang tersebut dirantai sekaligus digembok. Kening Jennie mengerut, ia berpikir keras. Selama ia bersekolah di Hansung, setiap kali terlambat. Ia masih bisa menerobos masuk karena yang menjaga gerbang tersebut hanya Pak Soojin, alias satpam sekolah.

"Kenapa?" tanya Irene pelan dengan mata tertuju ke arah Jennie.

"Ada yang tidak beres, sebaiknya kita kembali ke gimnasium saja." usul Jennie lebih mirip sebuah perintah.

"Bagai---"

"Aku tidak peduli, kau cari saja sendiri." Jennie berlalu begitu saja, ia kesal tentunya.

Jennie tahu jika Irene khawatir dengan teman-temannya, tapi yang paling penting untuk saat ini adalah terus bersama selagi bisa. Dibalik langkah Jennie yang semakin jauh, Irene hanya bisa menunduk ragu. Haruskah ia pergi mengikuti Jennie atau mencari teman-temannya sendiri. Klise, tapi karena rasa ragu itu. Irene sadar jika ia benar-benar sudah ditinggal seorang diri di depan gerbang sekolah, wajahnya mendadak pucat pasi.

Ia takut sendiri, maka Irene memutuskan untuk menyusul Jennie ke gimnasium dengan harapan tidak akan menarik perhatian mahluk-mahluk tersebut.

×

"Apa yang terjadi?" tanya Lisa yang untungnya bertemu dengan Jennie, tepat di depan toilet.

Sekedar informasi, jika kau berjalan lurus maka kau akan bertemu dengan pintu kamar mandi di sebelah kanan. Dan jika kau keluar dari kamar mandi, maka kau akan melihat lorong panjang. Nah, sebelah kirinya ada pintu masuk gimnasium.

"Aku juga tidak tahu." jawab Jennie dengan sorot mata ketakutan, ia takut kehilangan Jisoo dan Rosé.

"Kau sendiri?" tanya Lisa berusaha mencairkan suasana.

"Bersama Irene tadinya, tapi tidak tahu sekarang." jawab Jennie seadanya.

"Irene? Dimana dia? Kau tinggalkan begitu saja?" tanya Lisa bertubi-tubi.

"Iya, depan gerbang. Kenapa?" tanya Jennie bingung dengan reaksi Lisa.

"Seulgi tadi kutinggal di ruang musik. Bisakah kau susul Irene? Biar aku yang mencari mereka, sepertinya sih mereka di gudang sekolah." jelas Lisa dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan oleh Jennie.

"Baiklah, kalau begitu nanti kita berkumpul di ruang musik." Lisa mengangguk setuju.

Lalu ia tersadar. "Jen, hati-hati jika kau sudah berada di area kelas X-D. Banyak mahluk menjijikan itu kau tahu." imbuh Lisa yang teringat soal kelas tersebut, Jennie hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan langkahnya.

Untuk kesekian kalinya hari ini, mereka berdua kembali berpisah.

×

"Haruskah kita keluar?" tanya Yeri terlihat jengah.

Rosé melirik ke arahnya. "Kalau kau ingin mati, silahkan." jawab Rosé sambil menatap ke arah pintu gudang yang terkunci.

Mereka semua kembali bungkam, Rosé memutuskan untuk melihat keadaan gudang. Masih ada, zombi-zombinya malah semakin banyak. Rosé menghela napas pelan.

Mereka tidak mungkin keluar lewat jalan masuk tadi, terlalu berisiko. Tapi mereka juga tidak bisa berdiam diri di gimnasium terlalu lama, gudang semakin lama semakin pengap. Sudah begitu berdebu lagi, ventilasi pun tidak bisa dicopot begitu saja.

"Ada yang bawa ponsel?" tanya Rosé.

Chanyeol menyodorkan ponsel miliknya, dan Rosé pun mengambilnya tanpa banyak bersuara. Ia mulai mengutak-atik ponsel Chanyeol.

"Halo." sapa Rosé terdengar sangat sopan, yang lainnya bahkan sempat terkejut dan tak menyangka jika Rosé bisa sesopan dan seramah itu.

"Rosé? Benarkah ini kau?" tanya orang diseberang terdengar lega.

"Iya ini aku, kau baik-baik saja kan disana?" Rosé bertanya balik, yang lainnya hanya bisa melihat dan menunggu.

"Tanyakan pada dirimu sendiri Rosé! Aku baik-baik saja bersama yang lain, tapi---"

"Iya aku tahu, tak usah diteruskan. Aku dan yang lainnya akan ke sana nanti." potong Rosé yang sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh lawan bicaranya.

"Kalau begitu sudah dulu ya." pamit Rosé lalu menutup sambungan.

Begitu Rosé menyodorkan ponselnya, Cahnyeol bertanya. "Siapa?"

"Bukan urusanmu."

Mereka semua saling melempar pandangan. Kembali ke semula secepat itu ternyata.

"Sepertinya kita hanya bisa menunggu Lisa atau Jennie datang ke sini." ungkap Jisoo pelan.

"Kau melihat sesuatu?" tanya Bobby penasaran.

Jisoo mengagguk. "Lisa dan Jennie berpisah lagi tepat di depan toilet." jelasnya singkat.

"Hei, diam sebentar." Hanbin memberitahu, dan perlahan mendekati pintu belakang gudang yang tersambung menuju taman belakang sekolah, juga satu-satunya jalan keluar mereka.

Hanbin mencoba mengintip di sela-sela pintu. Silau. Butuh beberapa saat baginya untuk memperjelas penglihatannya. Pupil matanya melebar ketika mendapati Irene berada tepat di depannya.

"Itu Irene!" pekik Hanbin senang.

Rosé melempar tatapan tajam, Hanbin membekap mulutnya sendiri. Kali ini Rosé mencoba mengintip di sela-sela pintu tersebut. Benar saja, Irene terlihat sedang berjongkok di hadapan pintu gudang dengan wajah pucat.

Rosé berdiri dengan tatapan datar. "Itu bukan Irene." semua menatap Rosé kaget.

"Aku tak meminta kalian untuk percaya, tapi itu bukan teman kita. Membiarkan dia masuk sama artinya dengan bunuh diri." jelas Rosé lalu memutuskan untuk kembali menemani Jisoo.

"Kau bohong kan?" tanya Wendy dengan mata berkaca-kaca. Rosé menggeleng pelan sebagai jawaban, tangis mereka pecah----tapi tertahan karena bukan hal yang baik jika mayat hidup itu mengetahui keberadaan mereka.

Rosé menghela napas. "Aku tahu kalian takut, sedih, ingin pulang dan semacamnya. Tapi tolong, bertahanlah hingga titik terakhir kalian, aku memang bukan orang yang bijak. Kalian mungkin malah menganggapku sebagai orang terdingin di sekolah ini, tapi aku peduli. Karena sejak kita berkumpul di gudang, selamat dari kejaran mahluk itu. Kalian semua tanggung jawabku, bersemangatlah."

Semua orang terdiam, rekor untuk seorang Rosé yang berbicara sepanjang itu. Bahkan terdengar amat sangat bijak di telinga Jisoo sekalipun. Mereka semua melempar senyuman hangat kepada Rosé sebagai tanda terima kasih.

"Kau memang mewarisi hati malaikat Rosé." puji Jisoo melalui bisikan lembut namun tersirat makna menggoda, sehingga Rosé hanya balas menatapnya datar. Kembali ke dirinya yang dulu setelah serentetan kalimat panjang bak kereta tadi.

Jisoo tertawa pelan, lalu kembali diam seperti semula.

×
Semangat ulangannya kalian!

apocalypse; ㅡblckbgtn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang