sixteen

1.3K 152 30
                                    

Sepertinya lain kali aku tidak akan double update lagi deh. Sedih hati daku melihat vote di chapter fourteen tidak mampu mengalahkan vote di chapter setelahnya. Kan kasian dia udah berusaha mengambil hati para readers tapi malah tidak diapresiasi, bahkan chapter itu merupakan chapter terpanjang yang pernah ditulis, karena berhasil mencapai 1.300 words lebih ....

Ya, sebut saja banyak berharap, tapi itulah kenyataannya. Walau begitu, aku tetap berterima kasih atas dukungannya sejauh ini. Cerita dari tahun lalu sampai sekarang, yang beruntungnya hampir mendekati kata tamat. Maaf sudah membuat kalian menunggu. Terima kasih👺🖤

Emoji favorit aku kadang suka serem, jangan diambil hati ya teman🔪👹

×

"Kenapa kembali? Seulgi mana?" tanya Baekhyun bingung, melihat kedatangan Irene yang murung.

Kai cepat-cepat memukul Baekhyun. "Kau ini tidak bisa baca situasi ya?" tanyanya geram.

Baekhyun meringis, semua orang meringis. Merasa bersalah pada Irene dan prihatin soal Seulgi. Jisoo berjalan menghampiri Irene, menepuk pundaknya lembut, dan mengajaknya duduk sebentar. Tak lama kemudian Heejin datang menyodorkan segelas air putih, Irene tersenyum kecil sebagai tanda terima kasih, lalu meneguk habis air tersebut.

"Apakah Sera baik-baik saja, Kak?" tanya Heejin terlihat cemas.

Irene mengukir senyum. "Tenanglah, Wendy sudah membawanya ke tempat yang aman."

Heejin terdiam, kemudian berlalu menghampiri Namjoon. Kakinya berjinjit, mencoba mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh Namjoon. Tentu saja kehadirannya disadari. Namjoon melemparkan senyum. "Kenapa kau kemari?"

"Kapan kita akan berangkat? Zombinya semakin banyak karena Kak Irene."

Semua orang terperanjat mendengar penuturan bocah berumur dua belas tahun tersebut. Namjoon buru-buru menyejajarakan tinggi tubuhnya, alias berjongkok. "Kau tahu itu dari mana, Heejin?" tanyanya lembut.

Heejin mengangkat bahunya sendiri tidak tahu-menahu. "Kak Irene berbeda." jawabnya singkat.

Namjoon mengangguk pelan, menggenggam jemari Heejin, kemudian berdiri. "Kita pergi sekarang."

Tidak banyak komentar, mereka tahu jika situasi bisa berubah genting kapan saja. Tidak ingin mengambil risiko, tindakan paling tepat untuk sekarang adalah segera berangkat.

Bunyi dering ponsel mengalihkan perhatian mereka yang sibuk berkemas---memastikan tidak ada yang tertinggal.

"Kenapa?" tanya Namjoon tanpa basa-basi.

"Jadi 'kan? Rencana A kita?" tanya pemuda di seberang.

"Jadi, berangkatlah sekarang. Kami akan menyusul." Namjoon lantas memutuskan sambungan, karena sudah tidak ada lagi topik penting yang harus dibicarakan.

"Kalian siap?" Namjoon bertanya memastikan, semua menjawab dengan anggukan.

Namjoon melangkah maju dengan Heejin di sebelah kanan. Bocah itu menggenggam jemarinya, dan Jisoo---yang berdiri di kanan Heejin.

Jin memimpin di depan, memastikan jika semuanya aman. Di belakangnya ada Baekhyun, Kai dan, Irene, lalu ketiga manusia yang---sepertinya---tidak bisa dipisahkan itu. Terakhir, yang berada di paling belakang sisanya Bobby dan Hoseok.

Berjalan bergerombolan sangat tidak disarankan oleh Namjoon, karena menurutnya itu tidak aman mengingat posisi mereka yang acak-acakan nanti akan mempersulit laju gerak ketika zombi datang menyerang.

Mereka semua sepakat untuk keluar lewat pintu belakang, karena setelah diperiksa oleh Hoseok tadi. Keluar lewat depan akan sangat berisiko sebab mereka kalah kuat dan tentu kalah jumlah.

Jin menggeser pintu itu perlahan, melongok keluar. Napas lega terdengar karena situasinya jauh lebih baik daripada di depan tadi, tapi bukan berarti kehadiran mereka tidak ada sama sekali di situ.

"Ada kurang lebih lima zombi di depan saat ini. Pertama, sebaiknya Namjoon, Heejin, Jisoo dan Irene yang keluar duluan. Kami berlima akan membuka jalan selagi kalian ke bus itu." Jin mengomando.

Namjoon tidak mendebat itu, waktu mereka sempit dan rencana Jin terdengar cukup meyakinkan baginya. "Kalau begitu, ayo."

Jin maju lalu melayangkan tongkat bisbol tepat di kepala zombi tersebut. Bobby dan Baekhyun menembakkan beberapa peluru ke zombi yang ingin menyerang Kai dan Hoseok yang bertarung dengan pisau dapur. Mereka membuka jalan, dan dengan cepat menghabisi zombi-zombi itu. Namjoon bergegas maju ketika melihat celah, menarik tangan Heejin yang mengait tangan Jisoo. Irene berdiri di belakang mereka dengan wajan teracung---seperti Rapunzel---, siap mengirim serangan jika terdesak.

Namjoon menembakkan beberapa peluru ketika melihat zombi yang hendak menyerang. Tembakannya selalu mengenai tepat di kepala.

Kali ini, kelima benteng itu telah membentuk formasi. Mengurung keempat temannya dalam bentuk lingkaran. Mereka terus maju, walau agak lambat karena harus membunuh. Bus mereka tinggal beberapa langkah di depan, tapi, seakan jiwa yang berjatuhan belum cukup. Mereka lagi-lagi harus melihat temannya menjadi korban.

Baekhyun mendorong zombi yang menggigit bahunya, kemudian menembaknya tanpa ampun. Meringis sakit, Baekhyun semakin membabi buta. Tiga peluru tersisa setelah membunuh empat zombi. Sekarang, ia mengarahkan pistol itu tepat di kepalanya.

"BAEKHYUN!" Kai berteriak marah. Jisoo menutup mata Heejin, Irene memekik tertahan.

DOR!

Kai menghela napas kasar, pisau dapur yang dipegangnya bertemu dengan kepala zombi silih berganti. Wajahnya dipenuhi cipratan darah, tapi itu belum cukup meredakan amarahnya. Mengarahkan pisau ke lehernya, kali ini mereka semua berteriak panik.

"Kak Kai!" Heejin berteriak dengan mata berkaca-kaca.

Kai menghentikan aksinya, melempar jauh-jauh pisau dapur tersebut, memaki-maki kemudian. Lalu bergegas berlari masuk ke dalam bus. "Ayo! Kita tidak akan membuang waktu kan?"

Mereka semua bernapas lega, senyum terukir di bibir Heejin. Mereka semua kembali melanjutkan langkah, sembari membunuh mereka satu persatu.

Setelah masuk ke dalam bus. Napas terengah memenuhi ruangan. "Tadi itu yang paling menegangkan." komentar Bobby yang langsung disetujui oleh mereka.

"Sekarang kita ke mana?" tanya Kai yang sudah siap mengendarai mobil.

"Hei, tenangkanlah dirimu dulu. Aku tidak ingin jatuh ke jurang karenamu." Irene mencegah dengan pandangan cemas.

"Biar aku saja." Bobby kali ini bangkit siap mengambil alih kemudi.

"Tunggu, bukankah kau tidak bisa menyetir bus?" tanya Jisoo bingung.

Wajah Bobby memerah malu. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya panik.

Jisoo tertawa geli. "Aku melihatnya."

Mereka semua menertawakan Bobby, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk memercayai Bobby saja, karena ia bersikeras melakukannya demi menebus kesalahan---June---sebelumnya. Lagipula, pria itu sudah memiliki SIM. Sama seperti Jin, Namjoon, dan Hoseok.

"Kita ke Ansan kan?" tanyanya memastikan setelah keluar dari area perumahan tersebut. Namjoon mengangguk membenarkan. Selisih waktu berangkat mereka sekitar empat puluh lima menit dengan bus yang dikendarai Jungkook.

"Semoga saja semuanya lancar."

×
Tbc

apocalypse; ㅡblckbgtn [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang