3. Awal yang Menyebalkan!

3.8K 126 2
                                    

Ya Allah, tolonglah hambamu ini, jangan sampai pingsan sekarang. Please. Walau aku sudah melotot maksimal sampai kurasa bola mataku nyaris keluar, tapi genggaman tangannya malah makin erat. Aku semakin kesal dibuatnya. Dengan sekuat tenaga kutarik tanganku, namun usahaku sia-sia, tenaganya lebih kuat. Dia malah balas menarik tanganku, tidak terlalu kuat namun cukup membuat tubuhku hilang keseimbangan. Tak ayal tubuhku terhuyung ke depan. Dan...duk! Aku terpekik tertahan bersamaan dengan kepalaku mendarat tepat di dadanya yang bidang, dengan posisi wajahku mencium dadanya. Greb! Dia menangkap kedua pundakku dengan tangannya yang kokoh. Spontan semua mata tertuju pada kami berdua. Tak lama suara tawa mereka meledak memenuhi ruangan. Buru-buru kutarik kepalaku kebelakang, dengan kedua tangan sekuat tenaga kudorong dadanya agar menjauh, hingga dia melepaskan pegangannya di pundakku. Kemudian kudengar suara-suara menggoda mulai bersahut-sahutan disela-sela suara tawa.

"Uhuk...ehmm, sabar Satria, belum halal!"

"Begini ni anak muda jaman sekarang, suka gak sabaran."

"Ciee...yang udah gak tahan, main sosor aje Neng...uhuk uhuk." Kemudian disusul suara tawa mereka memenuhi seisi ruangan.

Aku tak lagi dapat mencerna siapa saja yang sedang bicara. Jangan ditanya lagi seperti apa perasaanku sekarang, malu sekali. Sudah bisa dipastikan wajahku sekarang memerah, karena rasa panas sudah menjalar di wajah. Ya Allah, rasanya aku ingin menghilang saat ini juga. Hiks. Nafasku memburu sementara mataku sudah mulai menghangat. Sabar! Tahan! Jangan sampai nangis apalagi pingsan, Rara! Dengan meremas kedua telapak tangan, sekuat tenaga aku menahan agar bulir bening di mataku tidak tumpah.

"Udah udah jangan digoda mulu, kasihan tuh Raranya hampir nangis. Kamu juga Satria keterlaluan banget sih! Sabar ya...Sayang." Kali ini Tante Nany yang buka suara. Dia menghampiriku kemudian mengusap rambutku. Lambat laun suara tawa mulai mereda, tapi tatapan mereka masih mengarah pada kami. Duh, serasa menjadi tontonan gratis. Aku hanya bisa menunduk menyembunyikan wajahku.

"Iya sudahlah, mungkin Satria juga gak sengaja, iya kan?" Ucap mama sambil menarik tanganku, mengajakku kembali duduk di sofa. Idih mama...aku yang dipermalukan, aku ini anakmu, koq jadi malah belain dia sih. Rutukku dalam hati. Huhuhu...mama tak menyayangiku lagi. Awas ya, itu semua gara-gara kamu, Satria! Sebelum duduk, kulayangkan tatapan permusuhan ke arahnya. Astaga...dia tampak cuek, masih senyum-senyum gak jelas, kemudian berlalu begitu saja. Bukannya minta maaf kek, dasar gak bertanggungjawab. Kuhenyakkan tubuhku di atas sofa dengan kesal. Sungguh heran, tak malukah dia dengan kejadian tadi? Aku jadi curiga, jangan-jangan dia tidak punya kemaluan. Ups! Maksudnya tidak punya rasa malu. Hiii.

***

Karena bujukan dari Tante Nany, akhirnya mama memutuskan untuk pulang setelah makan malam. Padahal aku sudah memberi kode pada mama untuk segera berpamitan. Tak kan lah ya, mama gak tahu maksudku. Ah, dasar mama gak peka. Batinku sebal.

"Nanggung, sebentar lagimaghrib. Sholat disini aja sekalian ntar makan malam bersama, baru nanti pulangnya dianter sama Satria." Kata Tante Nany membujuk mama.

"Iya, lagian jam segini masih macet jalanan. Nanti biar Satria yang ngantar pulang, gitu lebih aman." Om Wijaya ikutan bersuara.

Yah jelas kalah lah dua lawan satu. Mama mengiyakan, aku hanya pasrah. Itu artinya semakin lama pula durasi pertemuanku dengan dia. Iya dia, siapa lagi kalau bukan Satria. Lelaki menyebalkan yang tadi sukses membuatku malu.Oh tidak, kenapa pula harus dia yang mengantarkan kami pulang, mending naik taxi lebih aman, daripada sama dia. Uhh...sebel! Untunglah semua tamu sudah pulang, paling tidak aku terhindar dari tatapan mereka lebih lama.

Mama bersama Tante Nany dan Om Wijaya sedang melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan Om Wijaya sebagai Imam. Mereka sholat berjamaah di mushollah yang letaknya disebelah ruang keluarga. Aku tidak ikut sholat karena sedang berhalangan. Tak kulihat lelaki itu di sana, kemana dia? Eh, ngapain juga aku mencarinya. Masa bodo dia mau kemana juga!

Calon Imamku Nyebelin (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang