4. Ketahuan

3.5K 109 4
                                    


Nafasku memburu, tanganku mengepal. Dengan sekuat tenaga aku pukul lengan dan dadanya dengan kedua tanganku. Aku benci kamu, Satria! Tunggulah pembalasanku! Hiks.

Entah sudah berapa kali aku memukulnya dengan kedua tanganku bergantian. Heran, dia hanya diam tak berusaha menghindar, tubuhnya bergeming seolah tak merasa kesakitan. Padahal tanganku sudah terasa sakit dan panas serasa memukul batu, otot lengan dan dadanya kencang. Apakah dia yang terlalu kuat atau aku yang terlalu lemah? sehingga pukulanku ini tak terasa olehnya.

Oh iya, dia kan guru olahraga bukan kesenian, pantas saja otot-ototnya kencang. Uhh...bisa kubayangkan kalau dia shirtless pastilah perutnya sixpack dan dada bidangnya berotot, so sexy. Ups! Dasar Rara otak mesum! Sempat-sempatnya aku mikir sejauh itu. Hihihi...jadi malu sendiri membayangkan. Cepat kutepis bayangan itu, kembali ke mode sebal.

Kulihat dia memandangku dengan tatapan yang, entah...masih setia dengan senyuman.

"Gimana, sudah puas belum?" Tanyanya.

"Belum" jawabku ketus.

"Oh, ya udah, nih pukul lagi!" Dia berbalik menyodorkan punggungnya ke hadapanku.

"Gak." Enak aja, bukannya sakit yang ada malah keenakan dia.

"Kenapa, katanya belum puas? Oh, apa jangan-jangan mau minta dada?" Dia berbalik menghadapku lagi sambil membusungkan dadanya.

"Gak mau!"

"Kalo paha gimana?" katanya sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Diih...apaan sih, emangnya mau makan ayam. Pilih dada apa paha?" Aku mendengkus kesal!

Dia terkekeh melihatku. Ini nih yang bikin aku makin sebel sama dia. Suka senyum-senyum gak jelas, apalagi kalo pake naik turunin alisnya segala. Aku jadi curiga, jangan-jangan syaraf-syaraf di wajahnya pada konslet kali ya! Uhh...sayang sekali, ganteng-ganteng somplak.

"Sudah ya marah-marahnya, sudah capek juga kan? Yuk masuk, nanti jinnya datang lagi lho" Satria berkata sambil meraih tanganku. Kutepis tangannya sebelum sempat memegang tanganku. Manusia tak berperasaan!Satu lagi yang bikin aku sebal, wajahnya itu lho tidak pernah menunjukkan penyesalan, boro-boro minta maaf, menyesal juga enggak. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa setelah membuat semua kekacauan.

Huftt...bisa frustasi aku menghadapinya,capek lahir batin. Oke fix! Kalau dengan kekerasan tidak bisa. Aku harus mencari cara bagaimana membalasnya.

Kurasakan energiku mulai melemah, kedua tanganku terkulai disisi tubuhku. Ughh perutku terasa nyeri, ini hari ke dua aku datang bulan lagi banyak-banyaknya. Apalagi seharian ini penuh dengan tragedi, benar-benar menguras energi. Biarlah untuk kali ini kau boleh menang, tapi tunggu pembalasanku!

"Ehh, dicari-cari ternyata lagi mojok berdua. Satria ajak Rara masuk, kita makan malam!" suara tante Nany menginterupsi. Aku menoleh, ternyata mama dan Tante Nany sudah berdiri di teras.

"Syukurlah kalian sudah dekat satu sama lain." Kata mama pula. Diih..apanya yang dekat? Aku memutar bola mata malas. Ahaa...sebuah ide melintas di kepalaku. Rasakan pembalasanku!

Bergegas aku beranjak menghampiri mama. Ayo Rara! Kamu bisa, gunakan kemampuan aktingmu sekarang. Hahaha...ketawa jahat.

Aku memasang wajah teraniaya setelah sampai di dekat mama dan Tante Nany, dengan wajah sembab khas orang habis nangis kupaksakan air mata yang tadi telah kering untuk kembali keluar. Tentu membuat mama dan Tante Nany terheran.

"lho lho koq nangis, ada apa sayang?" tanya mama dan Tante Nany hampir bersamaan. Mereka khawatir melihat aku seperti ini.

Aku tidak menjawab, tapi mataku tertuju ke arah Satria, yang terpaku di tempatnya berdiri di samping kursi taman. Agaknya ia juga heran melihat gelagatku.

Calon Imamku Nyebelin (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang