"Bukannya ini jalan ke rumah Abang? Kita nggak jadi, ya, jenguk Oma? Kalo nggak jadi, aku mau pulang saja," protesku pada Satria, ketika kusadari mobil yang dikendarainya menuju jalan ke rumahnya.
"Abang lupa kasih tahu. Tadi Tante Lusi telepon, katanya Oma sekarang ada di rumah." Dia menoleh sekilas, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Biasanya Oma gitu, kadang tiba-tiba minta diantar nginap di rumah anak-anaknya bergantian. Katanya kangen sama anak dan cucunya. Tapi ya gitu ... nggak pernah lama, paling bertahan 1 atau 2 hari," jelasnya sambil sesekali melihat ke arahku, kemudian fokus lagi ke jalan.
"Oh, jadi Tante Lusi sekarang yang merawat Oma?"
"Iya, Tante Lusi adik Mama, dia anak bungsu. Oma tidak mengizinkan Tante Lusi meninggalkan rumah walaupun dia sudah menikah. Jadilah sampai sekarang Tante Lusi beserta suami dan dua orang anaknya tinggal bersama Oma." Aku mengangguk paham.
Ketika berada di jalan yang tidak terlalu ramai, dia memelankan laju mobilnya. Dia kembali menoleh, menatapku beberapa saat, kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Kamu gimana, ada yang mau diceritakan?" tanyanya dengan raut menunjukkan kesungguhan.
"Aku nggak ... nggak ada. Bukankah Abang sudah tahu tentang keluargaku?" jawabku gugup.
"Hmm ... yakin, nggak ada yang mau diceritakan? Selain tentang keluarga. Gimana yang di taman tadi?" Netranya menatapku tajam. Dadaku berdebar.
Jengah dengan tatapannya, aku membuang muka, tidak tahu harus menjawab apa. Sepertinya dia curiga dengan kejadian di taman tadi. Aku gelisah, tidak nyaman rasanya menceritakan tentang Mas Rayyan. Tidak, untuk sekarang.
Deg!
Aku berjengit. Dia mengambil tangan kananku, menggenggamnya dengan tangan kirinya, gemuruh di dada kembali berpacu.
"Nggak pa-pa, kalau nggak mau cerita. Abang nggak maksa," ucapnya lembut. Hangat menjalar melalui genggaman tangannya, menyusup hingga ke hati. Aku salah tingkah.
Ciittt ... dugh!
"Aww!" jeritan spontan keluar dari mulutku. Satria mengerem mobil mendadak menyebabkan kepalaku terantuk dashboard.
"Astaghfirullah ... maaf, maaf. Abang nggak sengaja. Kamu nggak pa-pa? Mana yang sakit?" racaunya setelah menepikan mobil.
Dia menyalakan lampu, kemudian memperhatikan dahiku. Disibakkannya anak rambut yang menutupi dahiku, menyelipkannya di belakang telinga.
"Aku nggak pa-pa, hanya kaget saja," jawabku cepat, memindahkan tangannya yang menempel di dahiku.
"Beneran, kamu nggak kenapa-napa?" tanyanya meyakinkan. Aku mengangguk.
"Makanya, Bang, kalau nyetir tangannya nggak usah kelayapan!" sungutku kesal. Dia terkekeh.
"Iya, maaf. Tadi, ada kucing yang tiba-tiba nyebrang." Dia melajukan mobilnya kembali ke jalan.
Tak lama, kami sudah sampai di rumah Satria. Rumah besar dengan halaman luas ini, sudah dua kali aku memasukinya. Dan perasaanku masih tetap sama, gugup! Entahlah, sepertinya bertemu dengan Oma membuatku tidak percaya diri. Aku takut omanya tidak menyukaiku. Eh!
Aku berjalan pelan di belakang Satria. Ragu kulangkahkan kakiku memasuki rumah. Seakan tahu keraguanku, Satria berhenti. Menoleh menatapku, menggamit jemariku, menarikku menyejajari langkahnya. Dan lagi-lagi, aku tidak kuasa menolak sikap lembutnya.
"Assalamualaikum." Satria mengucap salam ketika kami masuk rumah.
"Waalaikumsalam," jawab semua orang yang ada di dalam hampir serentak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Imamku Nyebelin (Sudah Terbit)
RomanceSikap jutek yang sengaja ditunjukkan Rara untuk menggagalkan perjodohan dengan Satria, anak sahabat mamanya, ditanggapi oleh cowok itu dengan santai, bahkan keadaan berbalik. Sikap Satria yang jahil dan menyebalkan membuat Rara harus menghadapi cowo...