18. Terkilir

2.7K 88 10
                                    


Hari ini Sisca sengaja datang ke rumah untuk mengorek informasi dariku tentang Rayyan dan Satria. Ternyata dia masih kepo dengan cerita kemarin. Katanya belum puas karena aku belum menceritakan semuanya. Dia berlagak seperti seorang reporter infotainment yang mencari berita gosip selebritis.

"Jadi kemarin Rayyan ke kampus nyariin lu? Terus mau apa dia?" tanyanya kepo.

"Dia minta gue buat nunggu."

"Nunggu? Nunggu apalagi?" tanyanya bingung.

"Nunggu dia cerai sama istrinya."

"What? Terus lu mau aja gitu?" seru Sisca dengan ekspresi tidak percaya, matanya membulat memandangku penuh selidik.

"Ya enggak lah. Lu kira gue oon apa?" sanggahku tidak terima.

"Oh ... kirain nggak bisa move on, mau nerima dia walaupun sudah second."

"Ngaco, lu kira barang, second!" Aku memanyunkan bibir, kesal. Sisca terkekeh.

"Syukurlah, lu masih waras," sambungnya di sela-sela suara tawanya.

"Ya iyalah waras, lu tuh yang kurang se-ons!" geram aku menoyor kepalanya.

Ketika tawanya sudah reda, Sisca memasang wajah serius, mendengarkan ceritaku. Aku menceritakan semua yang terjadi kemarin sesuai dengan permintaannya, baik tentang Rayyan maupun tentang Satria. Sesekali Sisca memotong ceritaku, dengan ke-kepo-annya.

"Duuh ... cerita lu, kayak dongeng aja ya, Ra. Pangeran Satria dan Putri Mutiara. Uhh ... so sweet," kata Sisca menggodaku.

Diih, emangnya Satria berkuda putih. Aku memutar bola mata. Malas. Tak menanggapinya.

"Gue jadi penasaran, gimana sih penampakan pangeran lu itu. Kenalin dong, Ra ... ya. ya, ya?" rayunya sambil mengerjap-ngerjapkan mata, sok imut. Aku jadi geli melihatnya.
Dia tampak antusias setelah kuiyakan permintaannya.

Tapi jangan harap dalam waktu dekat ini ya, Sis. Aku takut kamu masih ingat kejadian di gedung biokop waktu itu.

***

Sudah lima hari sejak kejadian di kampus. Belum ada kabar dari Satria, dia belum menghubungiku sampai sekarang. Mungkinkah dia marah? Saat itu ketika Satria mengantarku pulang, dia tampak kecewa karena aku tidak menceritakan apa yang terjadi. Tapi dia juga tidak pernah memaksaku untuk bercerita, walau aku tahu, sebenarnya dia penasaran. Eh, kenapa juga mikirin dia? Aku menggeleng, menepis rasa yang tiba-tiba singgah. Rasa ingin berjumpa. Eh?

Daripada berpikiran yang macam-macam, lebih baik bantuin Mama di dapur. Mama terlihat sibuk, sepertinya sedang membuat kue pesanan khusus, karena biasanya kue-kue diproduksi langsung di toko.

"Ada pesanan ya, Ma?" tanyaku mendekati Mama yang sedang serius menimbang bahan.

"Iya nih, ada pesanan kue ulang tahun dari Tante Wati buat anaknya."

"Ehmm ... Tante Wati, teman Mama?" tanyaku sambil mengingat-ingat teman Mama.

"Iya, Tante Wati maunya Mama langsung yang bikin. Katanya special buat ultah anaknya yang ke-17 tahun. Nanti tolong kamu yang anterin, ya, Sayang?" pinta Mama kepadaku.

"Biasanya, kan, Bang Andri yang bagian antar-mengantar pesanan?" tanyaku lebih ke protes. Karena hari ini rencanaku mau di rumah seharian sambil nonton drama korea.

"Hari ini Andri izin, katanya nggak enak badan."

Aku menarik napas. Yaa ... batal deh rencana nonton drakor. Bang Andri sih, pake sakit segala.

"Ya udah deh, Ma. Nanti tulis saja alamatnya." Aku menyetujui perintah Mama.

Mama memang jago dalam membuat kue, terbukti hasil buatan Mama banyak disukai teman dan langganannya. Kreasi kue tart buatan Mama juga menarik. Dengan keterampilannya menghias kue, Mama bisa membuat kue ulang tahun terlihat cantik. Seperti kue pesanan Tante Wati ini, dibuat dengan model love yang dipenuhi dengan bunga warna pink dan hijau dengan tulisan nama Maya di tengahnya.

***

Aku naik taksi ke alamat yang dituliskan Mama untuk mengantar pesanan kue ulang tahun. Bukan ke rumah Tante Wati, pesanan minta diantar ke stadion olahraga. Katanya anak Tante Wati, yang bernama Maya itu akan merayakan ulang tahun bersama teman-teman sekolahnya setelah latihan basket sore ini.

Calon Imamku Nyebelin (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang