16. Interogasi

2.5K 128 10
                                    

Aku terduduk lemas di kursi. Nafas yang tadi memburu perlahan kini mulai teratur. Sisca yang baru turun dari kursi yang tadi dinaikinya menggeser kursi itu. Kini kami duduk berhadapan. Aku sudah pasrah, rasanya tak mungkin lagi mengelak atau sekedar memberikan alasan yang masuk akal.

"Oke mari kita mulai." Sisca memulai proses interogasi. Tangannya dilipat di dada, memasang wajah serius.

"Siapa orang yang barusan menelpon anda?" Tanyanya berlagak seorang polisi yang sedang menginterogasi maling ayam. Aku memutar bola mata. Malas.

"Dih, apaan sih! Biasa aja kali nanyanya, gak usah lebay." Dengkusku kesal.

Sisca terbahak, mungkin dia geli sendiri dengan tingkahnya. Setelah tawanya mereda, dia mulai pembicaraan.

"Oke gue serius, sekarang lu ceritain deh semuanya. Dan ingat, jangan bilang kalo itu tadi hanya salah sambung, karena gue gak bakalan percaya." Katanya mewanti-wanti agar aku tidak beralasan.

"Namanya Satria, anak sahabatnya Mama, baru kenal." Jawabku langsung pada poinnya tanpa kata pengantar maupun pendahuluan seperti di makalah.

"Yaelah...singkat banget sih! Eh, tapi...tunggu, lu bilang anak sahabat nyokap lu, dan kalian baru kenal?" gumamnya dengan jari telunjuk diketuk ketukkan di keningnya, pertanda sedang mikir.

"Ehmm...baru kenal apa dikenalin? Jangan bilang...kalau kalian dijodohkan?" Terkanya menarik kesimpulan.

Aku mengangguk, mengiyakan.

"What? Sumpah lu? Yang bener? Lu serius kan?" tanyanya bertubi-tubi, seakan mendengar sesuatu yang aneh. Matanya melotot tidak percaya.

"Iya, gue serius. Udah ah, gak usah dibahas lagi. Mending kita berangkat ke kampus sekarang." Ajakku pada Sisca agar segera melupakan masalah itu. Aku beranjak bangkit, namun langkahku terhenti ketika Sisca mencekal lenganku, menarik badanku agar duduk kembali. Duh, gimana nih, aku takut sebentar lagi Satria datang kalau gak buru-buru berangkat. Aku harus mencari cara bagaimana meyakinkan makhluk yang satu ini, agar gak banyak nanya.

"Eit, tunggu. Elu belum cerita semuanya." Protesnya tidak puas dengan jawabanku.

"Iya emang gak ada yang bisa gue ceritain lagi, kita aja baru kenal koq." Aku beralasan agar Sisca tidak mengorek informasi lebih banyak lagi tentang Satria.

"No, no, no...elu kira gue percaya begitu saja?" Ucapnya seraya menggoyang-goyangkan jarinya ke kiri dan kanan. "Elu bilang baru kenal? Koq aku dengernya gak gitu ya. Seperti sudah akrab banget, ada...sayang-sayangnya lagi." Diih...ini semua gara-gara kesomplakan Satria.

"Serius, gue juga heran, padahal kami baru kenal. Dia aja yang sok akrab. Emang tingkahnya nyebelin, bikin gue jantungan."

"Hmmm...gue jadi penasaran, orangnya gimana, cakep gak?"

Aku diam, mengedikkan bahu.

"Yaelah...tinggal dijawab iya apa enggak, susah amat sih. Masa elu gak bisa membedakan cowok cakep apa enggak." Protesnya tak puas. "Iya udah deh, entar gue lihat sendiri gimana penampakannya." Lanjutnya terkekeh.

"Udah dong nanyanya. Kayak maling aja gue, diinterogasi mulu. Yuk ah, buruan ke kampus, ntar gue ceritanya di jalan." Ajakku lagi, untuk menghindari Satria. Semoga kali ini Sisca nurut.

"Tunggu...gue minum dulu." Sisca menenggak jus jeruk sampai tandas, seperti orang kehausan. Belum juga beranjak dari duduk, tiba-tiba dia memegang perutnya. Wajahnya meringis.

"Uhhh...perut gue kontraksi, sepertinya kebanyakan makan sambel bubur ayam tadi pagi nih." Serunya menahan mules. Hahaha...pake istilah kontraksi lagi, emang mau ngelahirin, ada-ada aja.

Calon Imamku Nyebelin (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang