Kulirik jam dinding di ruang tengah menunjuk angka jam 2 siang, masih ada waktu 2 jam lagi sebelum bimbingan dengan Mister Perfect. Kubereskan naskah skripsi yang aku pelajari lagi sambil menunggu Satria bangun, memasukkannya ke dalam map dan tas ranselku.
Bergegas ke kamar, kulihat Satria masih tidur, sudah 30 menit dia tidur. Ada perasaan tak nyaman ketika melihat ada lelaki yang tidur di kamarku. Kamar seorang gadis, yang sebelumnya tidak pernah ada lelaki yang memasuki kamarku kecuali Papa.
Tapi kini lihatlah, dia tidur dengan nyenyak seolah ini kamarnya. Pelan kulangkahkan kaki mendekati ranjang.
Dari dekat kulihat wajahnya, dia tampak tenang dan manis kala sedang tidur. Netraku mulai memindai wajahnya. Garis wajahnya yang tegas ciri khas lelaki macho.
Ketika pandanganku beralih ke bibirnya, dadaku berdebar. Bibir itu yang sering mengeluarkan senyuman nakal dan menggoda. Tapi siapa sangka dibalik ketampanannya ini tersimpan sikap yang menyebalkan.
Sepertinya sayang kalau dilewatkan, kapan lagi aku bisa menikmati wajah tidurnya. Tak ingin membuang kesempatan, spontan aku mengeluarkan gawai dari dalam tas. Menekan menu kamera dan mengarahkan ke wajahnya.
Ckrek ... blup ... suara kamera cukup keras dan kilatan blitsnya menyambar.
Astagaa ... kenapa aku lupa mengganti pengaturan kamera. Ini semua kerjaan Sisca, waktu itu dia bilang kalau difoto gak pakai suara dan kilatan blits katanya tidak terasa. Jadi dia yang mengubah pengaturan kamera di gawaiku. Dasar norak!
Tanganku masih mengambang di udara dengan gawai mengarah ke wajahnya, ketika Satria mulai mengerjapkan matanya. Cepat kuturunkan tanganku, memasukkan kembali gawai dalam tas. Berharap dia tidak menyadari apa yang aku lakukan tadi.
Kini Satria sudah duduk menyandar di kepala ranjang. Aku masih mematung di tempatku berdiri. Canggung dengan situasi seperti ini, aku berbalik hendak meninggalkannya. Dia menggamit tanganku sebelum aku melangkah pergi.
“Mau kemana, sini...,” ucapnya sambil menggeser tubuhnya, tanganku ditariknya, hingga tubuhku jatuh terduduk di sampingnya. Kutepis tangannya, cepat aku bangkit kembali, berdiri di sisi ranjang.
“Jangan cari-cari kesempatan, ya Bang! Udah, buruan bangun!” umpatku kesal.
“Siapa yang cari kesempatan? Bukannya kamu?” Senyumnya mengembang. Aku bingung, apa maksudnya. Jangan-jangan dia tau kalo aku mengambil fotonya tadi.
“Iya, aku cari kesempatan buat ngusir Abang,” jawabku ketus. Menutupi kegugupan. Dia tersenyum. Dasar somplak bukannya marah dijudesin, malah senyum-senyum gak jelas.
“Kalau mau lihat wajah Abang, gak usah malu-malu. Nih, lihat aja dari dekat. Abang ikhlas koq,” ucapnya, membuatku terperangah.
Jadi dia beneran tahu, kalo aku mengambil fotonya tadi? Uhh, malunya ... bagaimana ini, harus ngeles apa lagi. Aku kan bukan sopir bajay yang pinter ngeles. Huhuhu.
“Diih, siapa juga yang pengen lihat, wajah nyebelin ....”
“Tapi ngangenin,” potongnya cepat. Aku memanyunkan bibir, dia tergelak.
“Aku mau berangkat ke kampus. Terserah Abang, mau tetap di sini atau pulang,” kataku mengubah topik pembicaraan.
“Abang antar kamu,” ucapnya tegas.
“Gak mau, aku bisa berangkat sendiri,” jawabku sambil berlalu dari hadapannya. Dia beranjak menyusulku.
“Tunggu, Abang cuci muka dulu.”
“Gak usah, aku naik taxi aja,” jawabku kekeuh. Dia mencekal lenganku, menghentikan langkahku. Menatapku tajam. Aku menunduk tak kuasa membalas tatapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Imamku Nyebelin (Sudah Terbit)
RomanceSikap jutek yang sengaja ditunjukkan Rara untuk menggagalkan perjodohan dengan Satria, anak sahabat mamanya, ditanggapi oleh cowok itu dengan santai, bahkan keadaan berbalik. Sikap Satria yang jahil dan menyebalkan membuat Rara harus menghadapi cowo...