12. Taman

2.7K 144 3
                                    

Dear readers, maaf baru up. biar makin semangat up nya tolong vote dan commentnya yang rame ya. yang belum sempat vomment please balik ke depan ya guys. kita simbiosis mutualisme, saya menyenangkan kalian, kalianpun menyenangkan saya, biar sama-sama dapat pahala yaa

Luv U all


POV Rara

Setelah melalui serangkaian drama di gedung bioskop tadi, Satria membawaku ke taman kota. Dia bilang karena hari masih sore, masih ada waktu sebelum ke rumah Tante Lusi menjenguk Oma. Kali ini aku tidak menolak. Aku pikir tidak ada salahnya menuruti inginnya, karena dia sudah berhasil membantuku menghindar dari Sisca, walau dengan cara menyebalkan.

Taman yang pas digunakan sebagai tempat melepas penat dari rutinitas sehari-hari. Menikmati deretan pohon rindang dan sejuk di tengah panas dan pengapnya hawa perkotaan. Di depan taman ada beberapa kios menjual makanan. Sebelum masuk, Satria sempat mampir ke salah satu kios membeli makanan. Entah apa saja yang dibelinya karena aku menunggu di dekat pintu masuk taman.

Begitu masuk ke area taman, ada jembatan yang menghubungkan dua kawasan yang terpisah lantaran aliran sungai di antaranya. Deretan pepohonan dan rumput di bagian kanan dan kiri menambah sejuk pemandangan.

Kami berjalan melewati jembatan. Di dalam taman terdapat beberapa gazebo yang bisa dijadikan sebagai tempat piknik atau berkumpul bersama keluarga maupun teman.

Langkahku terhenti ketika kulihat di gazebo sebelah kiri ada satu keluarga kecil yang sedang menikmati makanan yang mereka bawa, diselingi derai tawa bahagia. Tiba-tiba ingatanku kembali pada kenangan enam tahun yang lalu. Saat terkahir kali berkunjung ke sini bersama Mama dan Papa. Saat-saat bahagia kami bersama terasa begitu singkat. Ya, itu hanya sebuah kenangan yang tidak mungkin bisa terulang, karena setelah itu Papa pergi untuk selamanya.

Pandanganku nanar, ada genangan yang coba kutahan. Aku berjengit kaget, ketika Satria menggamit jemariku. Menuntunku menuju kursi taman. Cepat kuusap mata dengan tangan kiri sebelum bulir bening itu jatuh ke pipi.

Duduk di kursi taman yang dikelilingi aneka bunga adalah pilihan yang tepat untuk mengurangi duka. Menatap indahnya bunga warna-warni seakan memberikan keceriaan bagi siapa saja yang memandangnya.

"Hei, kamu kenapa?" tanya Satria begitu kami duduk di kursi taman. Mungkin dia heran melihat perubahan raut wajahku barusan. Aku menggeleng, sebelum akhirnya aku ceritakan juga kenanganku tentang Papa.

Satria ternyata pendengar yang baik. Dia mendengarkanku tanpa menyela hanya sesekali menepuk tanganku lembut, seakan memberi kekuatan padaku. Kembali pandanganku nanar.

"Papa kamu pasti bangga, melihat anak gadisnya sekarang sudah dewasa. Bisa melewati semua ini dengan tegar. Jadi sudah ya, nggak usah bersedih lagi. Biar Papa kamu bisa tersenyum di sana." Aku mengangguk, mengerjap agar genangan itu tidak tumpah.

"Nih, cokelat mede kesukaanmu." Satria menyodorkan sebatang cokelat mede ke hadapanku. Dia sudah tahu kalau aku suka cokelat sejak kejadian malam itu.

"Terima kasih," ucapku menerima cokelat dengan seulas senyum mengingat kejadian malam itu.

"Ouchg ... " Satria mengerang tiba-tiba seraya menekan dadanya, membuatku kaget.

"Kenapa, Bang? Abang sakit? Apanya yang sakit?" tanyaku panik.

Kuletakkan cokelat di kursi, aku bangkit berdiri di depannya. Dengan tangan kanan kuguncang bahunya, sebelah tanganku menyentuh dahinya merasakan suhu tubuhnya, tidak panas. Dia mendongak tersenyum menatapku, menurunkan tangan kiriku yang menempel di dahinya, mengarahkannya ke dadanya.

Calon Imamku Nyebelin (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang