#29

622 81 55
                                    

Aku tahu dalam hidup pasti ada up and down. Aku juga tahu kalau hidup seperti rollercoaster. Tapi aku nggak tahu kalau fase itu akhirnya tiba; hidupku berubah seolah dijungkirbalikan. Rasanya menyakitkan.

No, sangat menyakitkan.

"Noona, airnya kepenuhan!" teriak Jisung dengan panik sambil meraih tea pot dari genggamanku. "Lihat sampe mleber kemana-mana."

Aku menatap gelas teh yang sudah penuh oleh teh, begitupun dengan meja yang basah karena teh yang tumpah.

"Noona mending duduk aja, deh," ujar Jisung sambil menatapku khawatir. "Biasanya juga kalau haus aku bakalan ambil minum sendiri."

Aku menatap Jisung, lalu menghela nafas. Melihat Jisung membuatku jadi teringat lagi sama Juno, kelakuan Jisung yang polos dan aneh-aneh inilah yang biasanya menemani aku dan Juno sehari-hari.

"Maaf baru bisa dateng hari ini," ujar Jisung sambil menunduk, ia bahkan mengigit bibir bawahnya. "Aku masih nggak nyangka Juno pergi secepat ini. Padahal sebelum aku pergi ke Roma dia udah ketawa-ketawa liat aku."

Pertahanku runtuh. Aku menangis, lagi. Entah untuk keberapa kalinya hari ini.

"Eh, noona, jangan nangis dong!" seru Jisung dengan panik, ia berlari ke ruang tamu untuk mengambil kotak tissue dan menyerahkannya padaku. "Kayaknya aku salah ngomong, deh. Maaf noona, aku nggak berniat untuk bikin noona sedih."

Aku meraih selembar tissue lalu menghapus air mata. "Makasih udah mau main sama Juno selama ini."

Jisung mulai menangis, ia mengusap air mata yang mengalir menggunakan punggung tangannya. Tangisannya semakin deras sampai bahunya bergetar.

Juno, lihat deh! Banyak yang sayang sama kamu, apalagi uncle Jisung. Dia sampai sesedih ini kehilangan kamu.

"Chenle masih belum mau kesini?" tanya Jisung setelah tangisnya mulai reda.

Aku menggeleng. Tadi Mama Chenle kesini; mamanya bilang Chenle nggak mau kesini karena dia masih belum terima atas kepergian Juno. Chenle nangis semalaman, dia nyesel karena nggak ada disini untuk lihat Juno terakhir kalinya.

"Jaehyun-hyung mana? Aku belum ketemu sama dia."

Jaehyun? Aku meringis. Aku nggak tahu dia dimana, semalam dia nggak pulang; telepon atau kirim pesan juga nggak.

"Coba tanya Taeyong," ujarku kemudian duduk di kursi meja makan. "Mungkin Jaehyun lagi menenangkan diri."

Aku memijat keningku yang mendadak terasa nyeri. Dari kemarin aku nggak bisa berpikir jernih, aku harus melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang; termasuk sudut pandang Jaehyun. Lelaki itu mungkin terluka, dia pasti sedang rapuh dan dia nggak mau nunjukin itu depan aku.

Mungkin.

Jisung ikut duduk di kursi. Matanya masih memerah sehabis menangis. Ia kemudian melipat kedua tangannya diatas meja dan membenamkan wajahnya disana dan kembali menangis.

Aku yang melihatnya menangis jadi ikut menangis juga.

Tapi tangisanku terpaksa terhenti begitu mendengar bel berbunyi. Aku berjalan dengan lemas kearah intercom, alisku berkerut begitu melihat Mark dan Haechan berdiri di depan pagar rumahku sambil melambaikan tangannya.

Wajah mereka masih murung dan tanpa senyum, sama sepertiku.

Aku langsung membuka lockdoor otomatis, kemudian membuka pintu rumah lalu kembali berjalan ke meja makan untuk menemani Jisung yang masih menangis.

IT STARTED IN THE WINTER [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang