#31

647 80 59
                                    

Warning : chapternya lumayan panjang, semoga kalian nggak bosan ya bacanya 💚



"Jiho sayang, kok sendirian? Jaehyun mana?"

Aku menghapus sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk mata. Aku nggak boleh nangis, aku harus kuat. Kalau Jaehyun lari mirip pengecut, aku harus tangguh bagai ksatria. Ksatria buat diriku sendiri.

"Ibu," panggilku seraya berbalik. "Apa kabar?"

Ibu Jaehyun tersenyum. Ia berjalan mendekat lalu mendekapku dalam pelukannya yang lembut. "Ibu baik. Kamu gimana?"

Aku mengangguk, berusaha menahan desiran untuk kembali menangis. "Ibu nyampe daritadi?"

Ibu melepas pelukannya. "Baru nyampe. Tadi mampir dulu ke JJ Hotel."

Aku mengangguk, kemudian mengapit lengan Ibu sambil berjalan ke area dalam New Hope. Anak-anak lagi main lari-larian di halaman bareng Chenle, Jisung, Jaemin dan Jeno.

"Jaehyun mana, sih? Kok ibu nggak lihat mobilnya," ujar ibu kembali teringat pertanyaannya yang belum aku jawab. "Kamu dateng kesini sama Jaehyun, kan?"

Aku mengangguk. "Dia ada perlu dulu sebentar."

"Perlu apa sih, acaranya mau dimulai sebentar lagi," ujar ibu dengan gusar. Ibu kemudian menatapku khawatir. "Kalian baik-baik aja, kan?"

Aku mengigit bibir bawah, rasanya mau menangis. Aku nggak bisa bohong didepan orang sebaik ibu. Aku nggak bisa pura-pura kalau kami baik-baik saja. Aku bisa di depan orang lain; tapi bukan ibu.

"Jiho, kalian baik-baik aja, kan?"

Aku menatap ibu lalu mengulas senyum pahit. "Kita baik-baik aja, kok. Tadi ada perlu mendadak, sebentar lagi juga kesini."

"Jaehyun udah sinting kayaknya, masa istrinya ditinggal gitu aja di parkiran," gerutu ibu Jaehyun. "Emangnya sepenting apa sih?"

Aku menggeleng. "Nggak tahu, bu. Kayaknya emang penting banget."

Iya penting banget. Tingkah brengseknya itu lebih penting dibanding perasaanku. Hari ini Jaehyun emang menyebalkan. Bersikap care waktu aku nangis di toko mainan, giliran aku berusaha peduli dia malah kabur gitu aja. Brengsek, kan?

"Coba telepon! Suruh dia cepet datang, acaranya kan dimulai 30 menit lagi."

Aku membuka tas, mengeluarkan handphone dan menekan nomor Jaehyun yang sudah aku hafal di luar kepala. Tapi begitu hendak menekan dial, aku justru merasa bimbang.

"Kenapa? Nggak aktif?" tanya ibu saat melihatku memandang layar ponsel dengan tatapan kosong.

"Eh, nggak kok," kemudian aku memberanikan diri memencet dial. Ada jeda beberapa detik sebelum suara operator menyambutku. Ponselnya nggak aktif.

Aku menatap ibu yang juga sedang menatapku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali.

"Iya sayang," ujarku, bohong. "Kamu dimana? Ini acaranya mau mulai bentar lagi."

Tentu saja nggak ada jawaban. Operator itu sudah berhenti bicara, hanya ada keheningan disana.

"Okay, aku tunggu, ya. Hati-hati."

Kemudian aku kembali memasukan ponsel ke dalam tas, aku menatap ibu penuh keraguan.

"Dimana katanya?"

"Di toko obat," ujarku, lagi-lagi bohong. "Tadi aku agak pusing, jadi Jaehyun beli obat."

"Kamu sakit?" ibu melangkah mendekat lalu menempelkan tangannya di dahi—berusaha mengecek suhu tubuhku. "Muka kamu emang pucat, sih. Kamu kurang istirahat, ya?"

IT STARTED IN THE WINTER [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang