#9

843 102 16
                                    

Aku terbangun di tengah malam. Hampir jam tiga pagi. Aku menoleh ke samping dan menyadari sesuatu; aku tidur sendirian—tidak ada Jaehyun disampingku. Padahal tadi jelas kita tidur bersama, kan? Tadi aku tidak halusinasi, kan?

Aku panik, terdengar berlebihan memang. Tapi begitulah yang aku rasakan. Aku meraih ponsel yang aku letakkan di meja kecil di samping tempat tidur. Menekan angka satu cukup lama sebagai speed dial untuk nomor ponsel Jaehyun.

Drrttt... Drrrtttt

Aku menoleh kearah meja rias. Sial, ponsel Jaehyun ada disini.

Dadaku bergemuruh hebat, ada banyak pikiran berkecamuk dalam benakku. Kemana dia pergi? Apa dia sedang bersama Nahyun saat ini? Menikmati indahnya malam hari di Busan sambil cuddle di tempat tidur atau bahkan saling memeluk dan memandang bulan?

Hush. Aku berusaha mengusir pikiran itu. Aku tahu bukan hakku untuk membenci dengan siapapun Jaehyun saat ini, termasuk Nahyun. Tapi tetap saja, setelah mendengar cerita Jaemin aku rasa wanita itu sudah tidak pantas untuk memiliki Jaehyun. Dia wanita jahat, sama seperti yang Jaehyun bilang.

Aku meraih long cardigan dari dalam lemari, mengenakannya dengan cepat dan segera keluar dari kamar. Aku ingin mencari Jaehyun, kemanapun dia pergi. Aku tahu rasanya memang berlebihan tapi aku benar-benar tidak tenang menunggu sendirian di kamar tanpa aku tahu dia pergi kemana.

Suasana hotel sudah sangat sepi, orang-orang tentu saja sudah tertidur dengan nyaman. Saat aku tiba di lobby, hanya ada dua orang resepsionis yang menatapku heran. Aku ragu apa harus bertanya pada mereka? Tapi rasanya tidak perlu, jadi aku berjalan lurus menuju restoran—yang tentu saja kosong. Lalu ke arah kolam renang—yang juga kosong melompong.

Aku mengusap keningku pelan, ada keringat yang mengalir disana. Jaehyun kemana? Apa dia benar-benar menghabiskan malam bersama Nahyun? Sebenci apapun Jaehyun pada Nahyun, tentu masih ada sisa rasa cinta, kan?

"Sonnim, ada yang bisa saya bantu?"

Aku menoleh, menatap seorang pelayan hotel yang baru saja menghampiriku. "Ti—tidak, aku sedang mencari barangku yang hilang."

Bohong. Tentu saja. Mana mungkin aku bilang sedang mencari suamiku yang hilang.

"Kalau boleh tahu barang apa? Biar kami coba bantu cari."

"Ehm—." Aku berpikir keras. "Kacamara."

"Boleh tahu merknya, bentuknya, warnanya?"

"Dior." Jawabku asal, aku bahkan tidak punya kacamata merk terkenal seperti itu. "Warnanya hitam."

"Baik, akan kami coba cari," pelayan itu tersenyum sopan. "Tapi sekarang alangkah baiknya sonnim kembali ke kamar dan istirahat. Semoga besok kami sudah menemukan barang sonnim."

Aku menghela nafas, kemudian mengangguk. "Baiklah, terima kasih."

Aku berjalan menuju lift, berniat kembali ke kamar. Entahlah, Jaehyun nowhere to be seen, dia mungkin ada di salah satu kamar di hotel ini—bersama Nahyun mungkin. Aku berjalan lesu menuju kamar, seketika alisku berkerut saat menyadari sesuatu.

Aku lupa membawa keycard. Aku terkunci di luar kamar.

Hah. Tubuhku terasa lemas, aku hanya mampu terduduk di lantai—tepat di samping pintu kamarku. Aku menekuk lutut dan memeluknya, menyembunyikan wajahku diantara lekukan lutut. Entah kenapa air mataku mengalir begitu saja. Aku merasakan sesuatu yang tajam menusuk hatiku.

IT STARTED IN THE WINTER [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang