Bab 14 : Karantina Provinsi

961 67 2
                                    

Rombongan sekolahku akhirnya tiba di hotel.

"Sudah sampai. Yuk, masuk," ujar Pak Surya.

Kami pun turun dari mobil, memasuki hotel yang sepertinya tidak terlalu mewah. Di resepsionis, sudah banyak peserta olimpiade yang mengantre.

Dan, aku melihat anak itu lagi. Alden, dan tatapan sinisnya tanpa sebab.

     Aku ikut mengantre. Di sebelahku, tampak seorang siswa, sepertinya dari kabupaten. Berbeda dengan Alden, ia tersenyum kepadaku. Aku pun membalasnya.

Setelah mengantre, mendapatkan kamar, kami pun pergi ke kamar masing-masing menggunakan lift.

~Story of Two Dreams~

"Halo, bolehkah aku masuk?" Seorang siswa yang tersenyum tadi membuka pintu kamarku perlahan.

"Silakan," ujarku. Ia pun berjalan masuk. Sepertinya, ia adalah teman sekamarku.

"Boleh kenalan? Namaku Ridho, dari Muaro Jambi. Nama kamu siapa?"

Oh, namanya Ridho.

"Adrian, dari Jambi," jawabku singkat. "Ikut olimpiade apa?"

"Geografi. Kamu?" Tanya Ridho balik.

"Fisika," jawabku.

"Wah, fisika. Pasti kamu pintar banget," pujinya.

"Ah, nggak juga," sanggahku. Bukan sok merendah, tapi aku memang tak sepintar yang dipikirkan orang-orang.

Kami pun mulai saling mengenal. Sepertinya, Ridho orang baik.

~Story of Two Dreams~

     Aula hotel penuh dengan keributan peserta olimpiade, sebelum pelajaran dimulai. Ada yang mengobrol dengan teman satu sekolah, ada juga yang berkenalan dengan peserta lain.

Aku berjalan, mencari tempat duduk yang kosong. Ridho sudah pergi ke ruangan olimpiade geografi.

Aku akhirnya duduk di sebelah Alden, satu-satunya kursi yang kosong. Ah, kenapa harus di dekat anak sinis itu lagi?

Sudahlah, aku coba saja ajak anak itu berkenalan. Siapa tahu, ia hanya seperti itu kepada orang yang belum dikenal.

"Hai! Aku Adrian. Kamu siapa?" Tanyaku —pura-pura bertanya. Ah, sebenarnya aku bukan tipe orang yang mengajak berkenalan.

"Kamu sudah tahu, kan? Alden," jawabnya ketus. Matanya menatapku sinis.

"Oh," jawabku.

"Kelas berapa?" Tanyaku, masih berusaha ramah. Aku merasa seperti bukan diriku, biasanya aku tidak seramah ini.

"Sebelas." Alden menatap ke arah lain, tampak menghindari percakapan.

Menyebalkan. Alden tetap ketus seperti tadi. Apa salahku sih, sehingga ia seperti itu?

Ya sudahlah. Aku malas melanjutkan perkenalan.

~Story of Two Dreams~

"Hahaha!"

    Tiba-tiba, terdengar gelak tawa perempuan di tengah kesunyian pelajaran fisika. Bulu kudukku berdiri. Aku gemetar, merinding mendengar suara itu. Ketakutan, mulai membayangkan adegan-adegan film horor di hotel.

Ah, masa iya ada hantu di sini?

Aku menoleh ke belakang. Ternyata suara itu adalah...
















Tawa seorang siswi yang sedang mengobrol. Fadila, siswi dari kabupaten itu sedang mengobrol dengan Nina, temannya.

Aku baru sadar, ternyata bukan hanya aku yang merinding sendiri. Semua peserta karantina menatap dua siswi itu.

"Fadila? Kamu tidak memperhatikan saya?" Tanya Pak Roni, pelatih fisika kami. "Malah tertawa. Lihat, satu kelas sudah merinding."

"Eh?" Fadila menatap sekeliling. Baru sadar, bahwa semua orang memperhatikannya.

"Eh, hehehe... Maaf, Pak," katanya.

    "Ya sudah, jangan diulangi lagi. Kalau kamu tidak ingin belajar, mundur saja dari karantina ini. Olimpiade butuh orang-orang fokus, bukan orang-orang santai."

"Baik, Pak"

Pelajaran pun berlanjut seperti biasa.

~Story of Two Dreams~

"Ada yang bisa mengerjakan soal ini?"

Alden mengangkat tangan. Setelah dipersilakan Pak Roni, ia pun mengerjakan soal di papan tulis.

Ia menuliskan cara mengerjakan soal tentang tegangan tali itu. Rumus rumusnya, variabel-variabelnya ditulis dengan rapi. Namun, sepertinya ada beberapa rumus yang salah.

Alden menyelesaikan jawabannya tanpa mengoreksi terlebih dahulu. Ia pun kembali ke tempat duduk.

"Apakah jawaban ini benar?" Tanya Pak Roni.

"Salah, Pak," jawab peserta lain.

"Ada yang mau memperbaiki?" Tanya Pak Roni lagi.

     Aku mengangkat tangan. Aku pun maju, memperbaiki pekerjaan Alden tadi. Tidak menghapus jawabannya, namun menulis jawabanku di bagian papan yang masih kosong. Setelah itu, aku kembali duduk.

"Jawaban Adrian benar."

      Aula pun riuh oleh tepuk tangan. Alden menatapku tak suka, sementara Aldo melempariku gulungan kertas dari jauh. Aku pun membuka gulungan kertas itu.

Gausah sok pintar jadi orang. Awas aja.

Ah, pesan semacam ini lagi. Aku buang saja ke tempat sampah nanti.

"Sekarang sudah jam 10. Waktunya coffee break," ujar Pak Roni.

Kami pun keluar kelas secara bergiliran, mengambil teh ataupun kopi dan snack.

~Story of Two Dreams~






















Hai!
Mohon maaf, baru bisa update sekarang.

Kayaknya, saya hanya bisa update seminggu satu bab. Nggak tahu nih, jadi pakai bonus bab karena ada update tertunda, atau nggak. Mohon maaf!

Kalau suka, silakan vote dan comment ya!

Terima kasih sudah membaca!







A Medal For AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang