Bab 29 : Perunggu

1.1K 50 13
                                    

Hari telah senja, kami dalam perjalanan menuju pulang.

     Apakah kau tahu seindah apa senja sore ini? Sungguh indah. Matahari yang akan terbenam, langit jingga, dan jalanan yang lengang, menambah kecantikan sore ini.

    Aku terus memikirkan Asha. Ah, ia secantik senja. Inikah cinta pertama yang dipuja-puja orang? Yang katanya tak terlupakan?

     Tapi, apakah baik memperhatikannya terus-menerus, bahkan pikiranku hanyalah tentangnya? Ku rasa, ini berlebihan. Mungkin Asha juga risih aku pandang terus.

Seharusnya kamu fokus belajar, Adrian. Bukan cinta-cintaan melulu.

    Tiba-tiba aku teringat, besok adalah pengumuman OSN. Bagaimana hasilku besok? Apakah aku akan berhasil? Atau malah gagal seperti sebelum-sebelumnya?

Ah, kemarin. Saat-saat aku kesulitan mengerjakan soal itu.

Aku jadi takut. Bagaimana kalau  aku gagal lagi kesekian kalinya?

~A Medal for Adrian~

    Aku sedang asyik scrolling di Instagram. Melihat foto-foto teman, yang isinya bermacam-macam. Ada Kevin yang mengunggah foto dirinya saat bermain basket. Ia tampak begitu gagah dengan seragam basket itu. Tampan dan anak basket -ah, wajar saja ia digemari siswi-siswi satu sekolah.

Jauh berbeda denganku yang culun, penyakitan, badan jauh dari ideal pula.

    Aku iseng menuju explore. Seorang laki-laki dengan mantel kotak-kotak abu-abu, duduk membaca novel klasik. Ternyata Aldo. Ia duduk lesehan di depan rak buku yang juga klasik —penuh dengan buku-buku. Keren!

    Keterangan fotonya adalah ulasan buku tersebut. Ada beberapa komentar yang tampak. Ada  komentar seorang perempuan yang memuji ketampanannya, ada yang berencana akan membeli buku yang Aldo baca, dan sebagainya.

Menarik. Ternyata, Aldo menggemari hal-hal klasik.

    Dan tiba-tiba, aku kesulitan bernapas.  Napasku terengah-engah. Dada terasa penuh, kembali sakit. Terengap-engap seolah tak ada udara. Terbatuk-batuk, membuat Gavin yang sedang menonton televisi menoleh.

    Aku berusaha mengambil inhaler di dalam tas. Gavin meneriakkan namaku, panik. Melakukan apa saja untuk menolongku. Aku menyodorkan inhaler ke mulut —mencoba bernapas, berharap gejala ini akan mereda. Namun, justru dadaku semakin berat.

    "UHUK! UHUK!" Batuk terdengar lebih keras. Aku justru semakin tak berdaya —menahan nyeri dada yang bertambah parah. Gavin menelepon nomor darurat.

"Hhh" situasi semakin memburuk. Aku mulai kehilangan kesadaran.

Beberapa saat kemudian, aku merasa seseorang membaringkanku di ambulans. Dan, aku tak tahu apa-apa lagi.

~A Medal for Adrian~

Lagi-lagi, aku terbangun di suasana yang sudah terlalu biasa. Dengan kondisi yang sedikit lebih baik, namun tetap saja sakit.

Aku membuka mataku. Hanya ada Kak Linda —yang mirisnya, justru mengetahui kemudian..

Di rumah sakit mana ini?

"Sudah sadar, Dri?" Tanya Kak Linda.

     Aku diam saja. Menyadari bahwa telah dipasangkan perangkat-perangkat pernapasan padaku. Termasuk masker oksigen yang menempel.

"Maaf, Kakak merasa nggak bertanggung jawab dengan kamu. Harusnya Kakak yang bantu kamu saat kambuh tadi, bukannya Gavin...."

Ia tampak menyesal. Aku tak peduli. Toh, sejak awal, ia bahkan cuek denganku!

A Medal For AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang