Bab 23 : Harapan Hidup

1.2K 57 0
                                    

1 minggu kemudian
Burung-burung sesekali berkicauan. Hamparan bunga melati di seberang jalan. Langit biru yang cerah. Jalan setapak yang sepi. Pohon-pohon mangga yang teduh di kanan, kiri, dan tepat di belakangku. Mengubah karbon dioksida menjadi oksigen untuk bernapas. Meskipun, bagiku tidak cukup-cukup juga.

Ah, taman rumah sakit yang tenang.

Aku membetulkan kanul hidungku sebentar, lalu kembali menatap soal OSN tahun lalu.

"Ini gimana, sih?" Gumamku kesal. Seperti biasa, aku selalu kesulitan mengerjakan latihan soal olimpiade fisika sendiri. Mungkin benar kata Aldo, otakku pas-pasan.

Ya sudahlah, aku tanya Pak Surya saja. Jam setengah sepuluh pagi, di sekolah masih istirahat kan?

Aku pun mengetik pesan di WhatsApp.

Adrian : Selamat pagi, Pak Surya. Maaf
ganggu. Boleh tanya soal
fisika?

Tak lama kemudian, Pak Surya membalas pesanku.

Pak Surya : Boleh, Dri. Soal apa?

Aku pun membalasnya lagi, memotret soal sulit itu, lalu mengirimkannya.

Pak Surya : Sebentar, ya. Tunggu dulu.

Sambil menunggu, aku pun mengerjakan soal lain. Berharap, setidaknya sedikit lebih mudah daripada soal ini.

Tiba-tiba, seseorang memanggilku.

"Hai! Abang pasien disini juga?"

Aku menoleh. Seorang anak laki-laki berkulit sawo matang. Sepertinya, seusia SMP.

"Hai," jawabku. "Iya, Dik,"

"Eh, kita belum kenalan. Nama Abang siapa?"

"Adrian. Adik?" Aku mengulurkan tangan.

"Rafi, Bang," ia menjabat tanganku.

"Abang sakit apa?" Ia duduk di sampingku. Aku tersenyum tipis. Tidak mungkin rasanya aku memberi tahu orang asing.

"Abang nggak mau kasih tahu? Nggak apa-apa deh. Aku kena leukemia, Bang," nadanya terdengar santai sekali, seolah tanpa beban. Aku menatapnya heran, sedikit iba.

"Ah, nggak apa-apa kok, Bang! Sudah biasa," ia tersenyum.

Ah, aku terharu mendengarnya.

Hmm, bagaimana jika aku beritahu saja? Sama-sama sakit parah juga.

"Baiklah. Aku sakit fibrosis kistik," jawabku.

"Hah? Penyakit apaan tuh bang?"

"Itu salah satu penyakit langka. Kronis juga,"

"Oh...."

"Abang lagi ngapain, sih?" Ia mendekat, penasaran. Mengangkat kover buku fisika-ku.

"Wah. Buku olimpiade fisika? Abang ikut olimpiade ya?"

Aku mengangguk.

"Hebat! Abang rajin, deh. Sakit-sakit gini masih belajar. Dulu, sebelum aku kena leukemia, aku juga ikut olimpiade.... IPA, sih,"

"Sekarang, masih ikut?" Tanyaku penasaran.

"Nggak, Bang. Sekarang, aku homeschooling. Nggak bisa ikut, hehe. Sebenarnya agak kecewa, tapi ya sudahlah Bang. Nikmati aja,"

"Wah, kamu bisa menikmatinya? Hebat," Aku semakin penasaran dengan anak ini. Lebih muda, tapi justru lebih bijak dariku.

"Ya, kalau mengeluh, nggak akan hilang sakitnya, kan? Kalau sedih terus, kapan bahagianya? Mending syukuri yang masih aku punya. Bahagia juga, kan?

A Medal For AdrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang