DIAM-DIAM

113 34 10
                                    


Ada Sesuatu Yang Tumbuh, Dan Bangkit

Jam belajar mulai aktif, kian hari makin teratur dan tertutur. Belajar adalah sebagian musuh untuk si pemalas, menatap buku seperti menatap keju; jiji sudah seluruh pikiran yang tak berperan ini.

Setiap orang mempunyai peranannya masing-masing. Ada peran utama, penengah, dan penjahat. Sepertinya aku tidak ada disalah satu pilihan itu, peranan ku hanyalah diam-diam.

Pilu pagi telah memberatkan punggung rumput, tatkala sinar mentari perlahan naik dan pastinya akan berujung tenggelam. Dan aku benci itu. Tapi, terimakasih ku ucapkan. Karena senja bersedia tenggelam untuk menjemput sang malam yang kelam, disitulah diriku bersatu dengan kesunyian nan kegelapan.

Ku sebut kau sebagai pagi, dan aku hanyalah seorang malam. Kau adalah sumber kehangatan yang penuh dengan keceriaan, dan aku adalah sumber keheningan yang sangat sunyi untuk diperlihatkan. Sampai sini paham?

Sedari tadi rupanya aku melamun, dan tak memperhatikan guru didepan. Saking ku terlelapnya dalam lamunan pagi dan malam, istirahat pun telah tiba. Sembari membereskan pulpen dan buku, aku menatap orang-orang disekitar. Dibandingkan belajar, ternyata mereka lebih semangat untuk pergi berbondong-bondong ke kantin, dan sepertinya mereka akan meraup semua makanan yang ada disana. Aku tak ikut, aku lebih suka menyendiri.

Posisi yang tepat telah ku duduki, sambil mendengarkan musik dari handphone yang dilengkapi dengan headset warna putih dekil, karena ku jarang membersihkannya. Duduk ini bukan sekedar duduk, namun sembari memastikan. Apakah dia masih sekolah disini atau berimigrasi? Ku tatap satu-persatu orang yang lewat di kejauhan mata yang buram ini, nampaknya tidak ada. Bel pun berbunyi, antara benci dan ingin tertawa diri ini.

Suara langkah sepatu telah mendekat, kian semakin merekat semua anak-anak berburu duduk dengan larinya yang sangat cepat. Tatkala guru pun membelakangi ku di pintu luar kelas, dan ku ucapkan'

"assalamu'alaikum" Ucapku sembari melepaskan headset.

"Wa'alaikumsalam" Ucap sangguru.

Dengan polosnya aku tak sempat mencium tangan sang guru, melangkah dengan penuh kecepatan seperti pemain film serigala di tv. Ku geser kursi yang sempit ke arah depan, sampai-sampai kursi ini mengeluarkan jeritan di tengah keheningan kelas. Sontrak! semua anak dikelas menatapku dengan gaya ekspresinya masing-masing. Apakah aku sekarang sudah memiliki peran? Lebih tepatnya antagonis.

Dua pekan terakhir ini dia tak terlihat, atau aku yang tak melihatnya? Entahlah sepertinya aku rindu, dari sekian banyaknya anak-anak di regu, hanya dia yang mengalihkan perhatian ku. Ajian apa yang dia pelajari? Sehingga aku terjatuh dalam benua kerinduan. Dengan senyum tipis, aku membayangkan..

"Kesal, terus merindu, sendu, karena tak bertemu, kemudian.. Jatuh Cinta"

Segampang itukah? Pikirku. Tanyakan lagi pada hatimu yang paling kecil! Apakah kamu benar-benar telah siap membuka pintu hatimu kembali? Dan siapkah menanggung resiko dalam segala hal?

Rupanya hatiku sedang berdebat dengan masalalu, tapi apakah harus begini terus? Terbawa arus sampai kurus? Ayolahh! Hatiku juga ingin bangkit, ingin bahagia, ingin merasakan indahnya jatuh cinta lagi, walaupun akan tersakiti lagi.

Dari sekian banyak pertimbangan, aku pun siap untuk menerima semua resikonya; Selamat! Anda telah siap untuk mengahadapi masalah hati.

Setiap rasa sakit harus diobati, apakah dia yang akan kau jadikan penawarnya?

*

Seperti biasa duduk dan tertunduk, mendengarkan senandung bait rindu di handphone, dengan menggunakan headset kesayangan ku. Andai saja, aku bisa tertawa lepas di hadapannya tatkala waktu. Memang, penyesalan itu datangnya terakhir.

Seketika leherku pegal, karena sewaktu istirahat kupakai detik menit ini hanya untuk menunduk. Dan akhirnya aku bersandar pada tihang di depan kelas, dengan kepala mendongak. Sedikit membenarkan posisi headset yang akan terlepas dari telingaku, ketika ku membenarkannya, secara tidak sengaja aku melihat jalanan menuju kantin yang sedang ramai. Setelah ku menengok lagi di sudut lainnya, eh di, dia!? Ah bukan. Tapi memang benar dia! Yang selama ini aku tunggu-tunggu si Guntur! Ternyata masih ada itu anak disini. Prasangkku salah lagi rupanya, kalau dia berimigrasi.

Kalau diibaratkan perasaan ku pada saat itu sangat senang, bercampur terheran-heran dan tidak menyangka saja. Ternyata aku bisa melihat Guntur lagi, walaupun dia tak melihatku tak mengapa. Dan walaupun ia melihatku juga pasti dia sudah lupa.

Kenapa sebahagia ini?









Apakah ada sesuatu yang tumbuh?

Atau semacam api yang sedang memerah?

Hati ini berbicara tanpa nada,

Seakan-akan namanya telah merekah,

Dibenak hati yang terluka, dan kini mulai terbuka,

Bangkitlah dari rasa sakit!

Apakah harus kutuduh,

Dia sebagai penawarnya?

-2016-

PRASAJA  ( SLOW UPDATE✓ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang