Mami sampai di depan UGD dengan omelan beruntun. Bagai rangkaian gerbong kereta batu bara, panjang dan susah disela.
Waktu Khansa pingsan, Mami dalam perjalanan ke Kantor Taspen, mengurus berita acara kematian Papi yang tertunda berhari-hari. Wanita bertubuh gempal itu mengira kondisi putrinya membaik karena demamnya sudah turun.
"Ini rumah sakit, Nyonya. Harap dikecilkan volumenya," bisik Rama sambil melirik ke arah pengunjung yang lain.
Mami menggandeng paksa putranya ke pojok selasar yang agak sepi. Geregetan, Mami mencubit pinggang Rama hingga pemuda itu meringis kesakitan. Ingin menjerit sekencang-kencangnya, tapi seperti yang ia katakan, ini rumah sakit. Harap jangan membuat keributan!
"Udah Mami kasih tahu kalau adiknya demam tinggi, masih aja bilang, 'Nggak usah khawatir, Mam. Nggak usah khawatir, Mam.' Hm? Dokter macam apa ini?!" Cubitan belum dihentikan.
"Kan udah bilang masih amatir, Nyonya .... Aaaaggghhhh!" Pinggang Rama meliuk tajam.
"Nyonya, nyonya!" Mami menirukan lalu menyudahi 'hukuman'. Sepasang mata tuanya menatap Rama dengan sendu.
"Maaf, Mam ...." Bagaimanapun, Rama merasa sangat bersalah. Andai mesin waktu itu benar-benar ada, ingin dia sewa sekarang juga. Bukan cuma mengembalikannya di hari pertama Khansa demam, tapi ... sebelum Papi meninggal. Ah, ngaco!
"Keluarga Nona Khansa Asy-Syifa!" seru seorang perawat yang membuat Mami segera menghampiri sumber suara.
Rama menghela napas lalu mengikuti Mami. Jantungnya plas-plas. Ia harus siap mendengar apapun hasil pemeriksaan awal. Tentang kondisi adiknya.
***
Suasana rumah sakit benar-benar ramai. Jumlah pasien membeludak. Harusnya, Khansa dirawat di ruang HCU, mengingat kondisinya yang perlu pengawasan ketat. Namun, ruangan itu rupanya penuh. Terpaksa, ia langsung dibawa ke ruang rawat inap. Itupun harus ruang VIP, karena ruangan kelas satu juga penuh semua. Untuk menebus rasa bersalah, Rama ikut menanggung biayanya, meski dengan syarat. Mami tidak boleh memberi tahu Khansa bahwa Rama lah yang menemukannya pingsan dan melarikannya ke rumah sakit.
"Jadi kakaknya yang paling saleh ini melihat aurat adiknya, gitu? Udah tahu dong, kalau adiknya punya rambut yang indah?" tanya Mami menggoda.
Rama yang semula duduk dengan posisi condong langsung menyandarkan tubuh di punggung sofa. Ubun-ubunnya berdenyut. Ngantuknya sudah level darurat. Ia pun menjadikan pundak Mami sebagai sandaran kepala. "Kan nggak sengaja, Mam." Pemuda itu membela diri dengan suara lemah. "Salah sendiri nggak pake kerudung. Nggak pake gamis kayak biasanya," gumamnya. Memorinya auto mengingat model rambut yang mempesona itu.
Namanya juga lagi panik. Lagi pula, saat itu kan, dia belum pulang.
"Ooh ... jadi selain lihat rambutnya yang berkilau, juga lihat aurat yang lain?" Mami memandang Khansa yang terbaring pucat. Gadis itu tengah menerima transfusi darah.
Rama hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir.
"Kalau Khansa tahu, bisa gawat nih. Bisa minta dinikahin." Mami semakin menjadi-jadi.
"What?" Mata kantuk Rama seketika membelalak. Ia menggeser kepala hingga bisa mengawasi wajah Mami dengan leluasa. "Nanti jadi doa loh, Mam. Lagian, Rama kan cuma liat rambut sama lengan. Nggak lebih." Bibirnya merengut sebal. Menikah sama Khansa? Kayak stok wanita di dunia ini sudah habis saja.
Tunggu dulu, cuma liat, katanya? Apa pemuda yang mengaku dokter amatir itu tidak tahu bagaimana Khansa menjaga auratnya? Tersingkap sedikit saja ... malu. Atau dia memang memilih tak peduli dengan cara Khansa menjaga diri? Oh, bukan tak peduli. Dia tidak suka. Dia bahkan pernah mengatai Khansa radikal gara-gara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
RomanceSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...