9. Doa di Bulan Ramadan (a)

5.5K 353 11
                                    

Rama mengetuk-ngetukkan ujung jemarinya ke atas meja. Matanya terlihat membaca tumpukan kertas, tapi pikirannya terbang ke sisi barat Pulau Jawa. Berkali-kali dia memelintirkan kepala ke arah jendela. Ada hape berukuran 4,5 inchi bersandar pada kusen.

Tak kunjung berbunyi, Rama berdiri untuk meraih hape, lalu mengusap layarnya. Lagi-lagi 'Emergency call only'. Dia mendesis kesal. Sinyal mengajak bertengkar di saat dirinya tidak ada mood meladeni.

Dokter itu mengacak-acak rambut. Rasanya ingin bertengger di atas pohon jambu untuk menghubungi Mami. Namun jamnya sudah tidak memungkinkan. Dan beginilah dia sekarang, gelisah sendiri, tidak fokus kerja, bahkan sering tidak nyambung ketika diajak bicara. Beruntung hanya dua orang pasien yang datang. Itupun sama-sama dengan keluhan diare. Tidak perlu pemeriksaan dan resep yang njelimet.

"Minum air putih banyak-banyak, ya?" ucap Rama kepada dua pasiennya. Lalu memberi mereka Lacto B, karena di desa itu tidak ada yang menjual minuman probiotik. Sudah, hanya itu. Kunci penanganan diare adalah pemberian cairan yang cukup, agar penderita tidak mengalami dehidrasi.

Begitu jam dinas berakhir, Rama segera berlari kecil menuju pohon jambu kesayangan. Jas putih belum dilepas sama sekali. Teman-temannya yang menatap heran, tidak diladeni. Yang dia ingini hanya kabar baik dari Mami bahwa Khansa-nya baik-baik saja.

"Gimana kabar Khansa, Mam?" tanya Rama buru-buru begitu Mami mengucap salam.

"Masih demam. Tapi udah Mami bawa ke dokter."

"Apa katanya?"

"Khansa kena flu disertai radang."

Rama mengembuskan napas lega. Alhamdulillah bukan penyakit berat. Dia pun menyandarkan punggungnya yang sempat menegang. Kini dirinya bisa menikmati hamparan langit biru dengan awan-awan tipis dari celah-celah dedaunan. Tiba-tiba dalam kepalanya terputar lirik lagu yang pernah ia dengar dari sebuah maskapai penerbangan.

Meskipun engkau jauh di sana ....
Kita memandang langit yang sama ....

Ah, langit, andai engkau bisa menjadi perantara untuk menyampaikan isi hati ini padanya ....

"Halo, Nak?" Suara Mami memutus ingatan.

Rama tergagap, meraup muka. "Jangan makan atau minum yang dingin-dingin dulu," ucapnya kemudian. Berusaha terdengar biasa saja.

"Iya .... Udah dikasih tahu sama dokternya."

"Bilang ke Khansa, jangan lagi makan cilok yang pedes."

Mami terbahak. "Udah Mami marahin. Eh, tapi apa hubungannya sama radang?"

"Em ...." Rama menggaruk kening dengan telunjuk. "Biasanya sih, makanan yang terlalu pedes bisa memicu sakit tenggorokan."

"Oh ...."

"Pokonya begini deh, Mam." Dia berdehem sejenak. "Banyak-banyak minum air putih. Istirahat yang cukup. Jangan sering begadang. Banyakin makan buahnya. Kalau perlu bikin salad. Jangan kebanyakan makan ciki-cikian juga. Olah raga-"

"Eh eh eh. Pak Dokter sejak kapan jadi cerewet begini?" kata Mami disusul tawa.

Rama menghela napas. Mami tidak mengerti kondisi hati putranya hari ini. Ambyar tidak karuan. Rasa bersalahnya yang dulu, menyerangnya bertubi-tubi. Juga rasa khawatirnya seperti virus yang cepat melakukan mutasi. Membuat hatinya kuwalahan menghadapi.

"Tadi diantar Mas Dewa?" Rama mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Oh ya, Mas Dewa berangkat ke Australi setelah lebaran. Kalau ada waktu, teleponlah kakakmu. Katanya kangen berat sama adiknya yang paling bandel. Tiap nelpon selalu di luar jangkauan. Mami suruh SMS, katanya udah nggak jaman." Mami tertawa kecil.

Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang