Rama gelisah. Merasa ada yang hilang. Jiwanya seakan berlubang. Lubang yang membuatnya linglung selama hampir sepekan.
Ini bukan soal jalanan yang lumer ketika hujan mengguyur deras. Bukan soal malam-malam yang gelap lantaran listrik belum dialirkan. Bukan soal sumber air yang letaknya jauh, dan membutuhkan tenaga ekstra untuk memindahkannya ke puskesmas atau ke rumah dinas. Bukan soal sinyal yang muncul-hilang. Bukan pula soal makanan yang ia masak seadanya karena jumlah warung sangat terbatas dan tak ada jaminan halal.
Ini soal suara yang biasa ia dengar lima kali dalam sehari, bersahut-sahutan.
Azan.
Awal datang di wilayah ini, Rama masih merasa biasa dan baik-baik saja. Waktu salat bisa dikira-kira. Hari berikutnya, mulai merasakan ada yang kurang. Hari berikutnya lagi, ia berusaha mencari. Berjalan menyisiri tepian jalan di pinggir bukit menjelang senja. Berharap seruan azan maghrib dapat ditangkap oleh telinganya meski samar.
Nihil. Yang Rama dapati hanya cuitan burung, berpadu lenguhan sapi dan embikan kambing milik warga.
Rama kalut. Ia takut kehilangan iman. Ia bahkan mengira bahwa Allah telah berpaling, darinya yang selama ini jauh dari kata takwa.
"Mam ... kangen," ucap Rama pada Mami saat berhasil menemukan sinyal stabil. Di atas pohon jambu biji di pinggir bukit. Menghadap lereng yang didominasi warna hijau tua.
"Mami juga, Nak .... Anak Mami sehat?"
Rama diam. Menahan letupan di dada.
"Halo! Rama! Nak! Halo!
Rama masih membisu. Ia menyandarkan kepala di batang. Lengannya kanannya merangkul batang berdiameter 10 senti itu.
"Mam ...."
"Iya, Nak? Sehat, kan?"
Rama menghela napas. Mengangguk kecil dan tak mungkin Mami melihat. "Rama takut, Mam ...."
"Takut kenapa, Nak?"
"Takut Allah ninggalin Rama." Suaranya tersekat. Bibirnya mulai bergetar dengan kaca-kaca yang sudah menggenang.
"Sayang ...." Biasanya kalau Mami sudah mengeluarkan panggilan itu kepada anak lelakinya, pertanda hati Mami sedang lunak-lunaknya. "Coba jelasin ke Mami, ada apa?"
Rama menghirup ingus. Lekas ia sapu buliran yang sudah menggantung. "Rama nggak betah, Mam. Di sini nggak ada suara azan." Air matanya pun lolos, terjun tanpa jeda.
"Oh ...." Mami tertawa. "Ya udah, azan sendiri aja kalau gitu."
Rama mengusap air mata dengan cepat. Setelah menyemburkan napas, bibirnya mengerucut sebal. "Kok malah diketawain? Rama serius, Mam."
Senyap. Sesekali suara burung menyelinap. Rama mendongak, menatap daun jambu yang rimbun, lengkap dengan buahnya yang masih pantas disebut bayi.
"Mam ... selama ini Rama selalu cuek saat azan berkumandang. Nggak pernah bergegas ngambil wudu atau dateng ke masjid. Rama nggak pernah mengutamakan salat. Padahal salat tiang agama, kan, Mam?" Rama menarik napas dalam-dalam. Udara perbukitan dengan pepohonan rindang, mengirimkan kesejukan. Namun tak mampu membuat kondisi jiwa Rama membaik.
"Mam ... Rama nyesel." Ia menelan ludah, terasa perih di kerongokongan. "Dulu, Rama sering kabur-kaburan ketika disuruh ngaji. Dulu, Rama ngerasa nggak butuh." Rama mendecak. Sinis dengan diri sendiri. "Bodoh, ya?"
Rama memang pernah mengaji di pesantren Ustaz Bakhtiar. Paklek Tiar, begitu dia memanggilnya. Namun tidak sampai setahun. Menjelang UAS kelas tujuh SMP, Rama sudah sering bolos. Jika ditanya, alasannya belajar. Dia memang gila-gilaan mengejar prestasi akademik. Khawatir kalah saingan dengan Khansa. Tidak ingin gadis itu semakin menggeser posisinya di hati Papi dan Mami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
RomanceSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...