17. Meminangmu

9.9K 661 96
                                    

Hujan deras sejak siang tadi menyisakan tetes-tetes yang indah untuk diamati. Rama berdiri termangu di depan jendela yang dibuka lebar. Mencari inspirasi sembari menatap keluar, pada gerimis kecil. Memikirkan bagaimana menyampaikan kalimat lamaran.

"Will you marry me?"

Terlalu biasa.

"Khansa, Mas cinta sama kamu. Mau nggak, jadi kekasih halalnya Mas?"

Rama menggaruk tengkuk sambil menyengir. Masa begitu?

Entah berapa lama Rama memikirkan kalimat yang sebenarnya tidak begitu esensial. Padahal di kajian pranikah sudah diberi contoh. Sederhana. Cukup dengan kalimat, "Aku ingin meminangmu." Tapi jantungnya yang terlalu berisik membuat otak encernya sedikit ambyar.

Terdengar pintu kamar sebelah dibuka. Ada denyut bahagia dalam dada. Kaki Rama berjengit-jengit ingin segera keluar lalu menyapa gadis yang hendak ia lamar. Namun sebentar kemudian, keraguan menyapa. Bagaimana kalau ditolak?

"Lelaki gentle itu, kalau lamarannya diterima, dia akan mengucap, 'alhamdulillah.' Kalau ditolak?" Selarik kalimat yang disampaikan Ustaz Bakhtiar melintas di kepala Rama.

Setelah kalimat tanya itu, seluruh peserta kajian gaduh. Ada yang nyeletuk mengatakan, "Innālillāhi wainna ilaihi rāji'un."

Sontak hadirin tertawa, sedangkan Ustaz Bakhtiar menepuk kening sambil geleng-geleng kepala.

"Ditolak lamaran itu belum tentu sebuah musibah, loh ya? Karena itu bukan akhir dari segalanya. Jadi saya sarankan, kalau antum ditolak sama gadis, meskipun sudah antum idam-idamkan sejak lama, katakan, 'allahu akbar!'

"Karena itu perkara remeh. Duniawi sekali. Tidak perlu dibesar-besarkan. Ada Allah Yang Maha Besar. Yakinlah, Allah punya rencana yang lebih baik dari yang antum rencanakan."

Rama menghela napas mengingat sepenggal isi kajian yang masih melekat kuat di ingatan. Kalau ditolak ... ya sudah. Mungkin akan sakit. Entah berapa lama. Namun ia berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa dirinya dan dunia di sekelilingnya akan tetap baik-baik saja.

Pemuda itu meremas tangan sembari menyemburkan napas kuat-kuat. Kakinya melangkah keluar. Matanya mencari-cari Khansa, tapi yang ia dapati malah Mami yang tersenyum di depan televisi.

"Nyari siapa?" tanya Mami jail.

Rama menyengir.

"Tuh, di sana!" Dagu Mami mengarah ke teras samping. "Sini dulu!" perintah Mami sembari menepuk sofa di sisinya.

Rama menurut. Duduk di sisi Mami yang bersiap mendekatkan mulut ke telinganya. Wanita itu membisikkan sesuatu.

"Kenapa, Mam?" Rama memandang Mami tak paham.

"Udah, nurut aja sama Mami."

Rama berpikir sejenak lalu mengangguk. Ia berjalan pelan, menghampiri Khansa yang duduk melipat kaki di lantai teras, sambil mengamati tetes-tetes air sisa hujan.

Gadis yang sedang patah hati dan dirundung aneka hal menyesakkan. Allah, Rama berharap bisa mengobatinya.

Ia ikut duduk dalam jarak kira-kira satu meter setengah dari samping Khansa yang entah memikirkan apa. Apakah penculikan kemarin, ta'arufnya yang batal, atau orang tua kandungnya. Yang jelas, tetes air matanya lebih deras dari sisa hujan yang menitik perlahan dari genteng teras.

Rama menghela napas lalu berdehem agar gadis itu menyadari kehadirannya.

Bahu Khansa bergerak naik, kaget. Buru-buru ia menghapus seluruh air matanya.

Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang