Bakda subuh, Rama mengetuk pintu kamar Khansa. Hatinya gelisah hampir semalam suntuk. Matanya ngantuk, tapi pikirannya sibuk memikirkan keamanan adiknya. Mau muraja'ah seperti biasa, konsentrasinya hanya bertahan 5 hingga 10 menit. Selebihnya ambyar.
Begitu pintu dibuka, Rama mendapati Khansa usai menangis. "Kenapa?" tanyanya heran sambil mengulurkan tangan kanannya, hendak meraih pipi basah itu.
Khansa lekas menghindar sambil mengusap seluruh air mata yang tersisa.
"Maaf ...." Rama membelokkan tangannya untuk menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Jean, ini ada Mas Rama." Khansa menyodorkan hape, memintanya bicara langsung dengan Jean.
Cara Khansa bersikap, menyiratkan bahwa gadis itu sudah nyaman dengan kehadiran kakaknya. Pemuda itu hampir melayang saking gembiranya. Namun suara Jean lekas membuatnya sadar.
Sambil menerima telepon, Rama melangkah masuk ke dalam kamar yang didominasi warna merah jambu. Sebelum duduk di bibir ranjang, ia melirik AC yang terpasang di atas jendela. Masih bekerja dengan suhu 26° celcius. Ia tersenyum setiap kali melihat alat pendingin ruangan tersebut. Teringat dulu ia menentang Papi dan Mami yang ingin membeli AC untuk dipasang kamar adiknya. Cemburu yang kebablasan.
Usai menutup telepon, Rama memandang Khansa cemas. "Khansa, hari ini di rumah aja, ya?" Ia bicara lembut cenderung memohon.
"Aku butuh ke kampus," sahut Khansa singkat. Seolah tak merasakan beban batin kakaknya.
Rama menghela napas berat.
"Jadi, mantan pacar Jean beneran bandar narkoba?" tanya Mami tak percaya. Wanita itu sudah ikut bergabung sejak Rama memulai obrolan dengan Jean di telepon.
Rama mengangguk samar. "Masih level pengedar, Mam." Rama meraih bantal, lalu menatanya agar ia bisa bersandar.
"Rencana kamu apa?" tanya Mami yang sudah duduk di hadapannya.
Rama membuka-buka menu galeri di hape Khansa. Niatnya hanya mencari screenshoot percakapannya dengan Martin yang ia kirimkan tadi malam. Khansa bilang, memori hapenya sudah penuh. Apa iya? Rama mencari tahu. Namun menyadari ibunya bertanya, Rama memandang wanita itu sejenak. Pikirannya yang kacau, terlewat mengingat pertanyaan Mami barusan. Ia malah mendongak, memandang AC.
"AC kamu baru, ya?" Rama melirik Khansa yang kini berada di sebelah kirinya. Melihat ekspresi adiknya yang jengkel, ia baru sadar bahwa pertanyaannya amat tidak penting.
"Rencana kamu apa?" Mami mengulangi pertanyaannya, mendesak.
Rama memandang Mami. Setelah bergeming beberapa detik, ia menjawab, "Rama mau nemui Martin." Jempolnya kembali asyik mengoprek galeri.
"Nak, Ka-"
"Mami nggak usah khawatir. Doakan Rama, ya?" Rama tersenyum sekilas untuk kemudian kembali menatap layar. Tiba-tiba dia menemukan sesuatu yang membuatnya berdecak tak keruan. Fotonya waktu masih kuliah dulu sudah penuh dengan coretan. Diberi kumis dan jenggot tebal, rambutnya jadi panjang sebahu, ada tahi lalat besar di bagian pipi kanan-kiri, dan dua taring mencuat dari sudut-sudut bibirnya.
"Hei, apa-apaan ini?" Ia memandang Khansa sambil tertawa-tawa.
Khansa kaget lalu merebut hapenya. "Makanya jangan kepo!"
"Mam, dia nakal, Mam!" Rama menunjuk-nunjuk Khansa yang sudah menyembunyikan hape di balik punggungnya.
"Ih enggak, ih. Mas Rama yang nakal!"
Mami memandangi kedua anaknya, bingung. Namun akhirnya tertawa lepas. Mereka berdua tak ubahnya anak kecil yang saling tunjuk siapa yang salah duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
RomanceSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...