Sri menjerit histeris. Mengundang pegawai hotel, satpam, dan pengunjung yang lain berhambur mendekat. Rama dan Sean yang masih memakai sarung ikut lari terbirit-birit. Piring sarapan yang belum tersentuh, mereka tinggal begitu saja. Padahal, selepas salat Ied di lapangan, keduanya mengaku kelaparan.
Sri didapati sudah berjongkok dengan punggung bersandar di dinding depan kamarnya. Wajahnya pucat. Dadanya kembang-kempis. Seperti pemain film horor saat bertemu hantu sumber teror.
Pintu kamar terbuka. Terdengar suara satpam bicara lantang di dalam -atau sengaja berteriak. Beberapa pegawai dan pengunjung yang berkerumun, berbisik-bisik dengan ekspresi jijik.
Ada apa? Apakah terjadi sesuatu dengan Mona? Rama ingin mencari tahu tapi tidak bisa menyibak kerumunan.
Tepat di balik punggungnya, Sri masih tergagap. Tangannya gemetar.
"Kenapa Dek Sri?" Sean berjongkok menatap Sri dengan ekspresi penuh tanya.
Bukannya menjawab, Sri malah menangis.
"Mona kenapa?" tanya Rama cemas.
Satpam menyuruh semua orang bubar. Segera saja Rama merangsek ke dalam dan ....
Astagfirullah!
Pemuda berbaju koko itu terkejut begitu mendapati Frans dan Mona menutup tubuhnya dengan selimut. Mona menunduk, berurai air mata. Sedangkan Frans memalingkan muka.
Rama hanya menggeleng lalu segera menyingkir. Dadanya diliputi sejuta kecewa.
***
Acara ke puncak Kelimutu jelas gagal total. Kini, Rama menghadapi dua temannya seorang diri setelah berhasil melobi pihak hotel, agar masalah ini tidak sampai terdengar ke luar.
Rama menatap Frans dan Mona dengan sorot mata tajam. Dalam hati, pemuda itu beristigfar berulang-ulang. Sedih, marah, kecewa, bergumul memenuhi dada. Sesak. Bibirnya belum sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.
"Maaf, Rama ...." Mona terisak. "Kami khilaf .... Tapi torang benar-benar belum sampai ...." Mona tersedu sambil menutup muka beningnya.
Rama beranjak dari kursi. Tangannya menyingkap gorden, menatap pemandangan bukit dari balik jendela. Isi dadanya masih bergejolak luar biasa. Dia menghela napas berulang kali. Berharap sesaknya berkurang lalu amarahnya reda.
"Aku tidak tahu, bagaimana agama kalian mengatur soal ini," ucapnya dingin.
"Tidak usah bawa-bawa agama!" desis Frans. Dia melipat kedua lengan di depan dada. "Kami melakukan ini atas dasar suka-"
"Cukup!" Mona menutup kedua telinganya. "Cukup, Frans! Ngana yang lebih dulu masuk ke kamar ini! Ngana yang merayu lebih dulu! Ngana yang terus meyakinkan saya!"
Rama memejamkan mata, teringat apa yang dikatakan Sri sebelum Ramadan kemarin.
"Frans dan Mona sudah balikan. Dan makin ... mesra." Sri terkikik sambil menutup mulutnya.
"Awakmu baper, yo?" tuduh Sean. "Makanya, segera nyari. Yang deket. Biar bisa lengket terus kayak perangko."
Rama ketika itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu saat ini, dirinya menghadapi perkara pelik dan bingung harus berbuat apa.
Tangannya mengepal kuat. Ingin rasanya menghancurkan kaca yang melapisi jendela di hadapannya. Dia tak habis pikir, dua orang temannya melakukan ini di saat yang lain melaksanakan salat Ied. Mona sekamar dengan Sri. Frans sekamar dengannya juga Sean. Ketika ditinggal berangkat ke lapangan, Frans masih terlelap. Begitu juga dengan Mona -menurut pengakuan Sri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
RomanceSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...