7. Menikah adalah Memilih

7.3K 381 44
                                    

"Mamiiii ada telepon!" teriak Khansa dari meja makan. Tangannya sibuk membelah jeruk baby, buah favoritnya.

"Siapa, Sayang?" balas Mami dari kamar mandi.

Khansa menyesap satu potong jeruk sambil menjulurkan leher panjangnya. Memandangi layar hape yang menyala. "Mas Ramaaaa!"

"Angkat aja, Nak! Bilang Mami masih ...."

Khansa tertawa geli, membayangkan Mami tengah mengejan. Tapi mengangkat telepon dari Rama? Mimpi buruk apa tadi malam?

Ragu-ragu jempol kirinya memencet tombol hijau. Hape Mami memang bukan ponsel pintar kekinian.

"Halo? Assalamu'alaikum," sapanya. Datar.

Pemuda yang sedang bertengger di atas pohon jambu, hampir saja terguling. Rasa kaget campur tak percaya. Mimpi indah apa tadi malam?

Rama menelan ludah. Untuk sedetik, jantungnya lupa berdetak. Lalu berdegub kembali dengan kencang hingga terasa seperti hentakan. Sekujur tubuhnya pun terpaku. Bahkan kelopak matanya kehilangan refleks berkedip.

"Halooo!"

Rama masih mematung. Pikirannya sibuk membuka-buka kumpulan kosakata yang terekam di memorinya. Namun tak menemukan satu kata pun di sana. Otaknya nge-blank.

"Halo halo halo halo halo haloooo." Khansa mulai bermain-main. Mengira bahwa di sana tak ada sinyal. Menganggap suaranya tak didengar oleh telinga Rama.

Pipi Rama perlahan mengendur. Ia memejamkan mata, menikmati suara yang terdengar menggelikan, tapi juga membuat hatinya dikerubuti kembang-kembang.

"Kenapa, Nak?" Mami sudah menyelesaikan hajatnya.

"Tau nih, Mi. Nggak disahut dari tadi."

"Oh, nggak ada sinyal kali."

Khansa terkikik, lalu kembali bicara setelah menyesap habis bulir-bulir jeruk di tangannya. "Halo, Mas Rama! Sabar, ya. Ini ujian. Lain kali kalau mau pergi ke daerah terpencil, bawa tower sekalian."

Rama tetap diam. Masyaallah, anak ini ....

Demi menjaga jantung tetap bekerja normal, Rama memutus sambungan. Ia menyandarkan punggung, menempelkan hape di dada. Pandangannya menengadah. Langit sore tampak lebih cerah. Gumpalan-gumpalan awan seperti membentuk wajah Khansa. Kicauan burung terangkai syahdu, bak melodi yang disusun oleh maestro musik kenamaan.

Rama merapatkan mata. Senyumnya tak berkesudahan. Untuk pertama kalinya, dia mendengar Khansa melontarkan kalimat seperti tadi. Setelah satu tahun lebih menunggu. Andai dia di rumah, berhadapan, pasti akan ribut dan suasana menjadi seru. Rama suka. Pura-pura cekcok dengan orang yang diam-diam dicinta, menurutnya bikin bahagia.

Rama menghela napas dalam-dalam. Menikmati oksigen yang leluasa memasuki saluran pernapasan, sembari menikmati rindu yang menemukan obatnya. Sebagaimana kerinduannya pada azan.

Ya, ada beberapa relawan lembaga kemanusiaan datang. Memberi bantuan pada penduduk desa. Menggali sumur.

Air, kebutuhan pokok sekaligus masalah utama di Detukeli. Selama ini warga mengambil air dengan cara manual. Air yang keluar dari celah-celah bebatuan. Harus antre pula. Rama dan timnya ikut berbaris memanjang setiap pagi dan sore. Mengisi jerigen-jerigen dan galon. Lalu menuangkannya di penampungan air rumah dinas atau puskesmas.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang