Hari-hari di bulan Ramadan seperti terlipat begitu saja. Target-target yang Rama buat tak berakhir maksimal. Salat tarawih di sepertiga malam yang dia programkan, beberapa kali terlewat. Target untuk menuntaskan hafalan Juz 'Amma juga belum kelar. Masih ada tiga surah. 'Abasa, An-Nazi'at, dan An-Naba'. Saat ini masih berkutat pada Surah At-Takwir. Delapan ayat pertama sering tertukar posisi.
"Tiga hari lagi ...." Rama mengembuskan napas kuat-kuat sembari menatap langit-langit kamar.
Bagaimana ia akan mengejar hafalan Khansa -yang kata Ustaz Bakhtiar sudah mencapai lebih dari 10 Juz? Mau menuju satu juz saja, sudah sepayah ini. Rama ingin meraung-raung.
Lelaki berusia 26 tahun itu bertekad, kelak akan mencari istri yang bisa membantunya menghafal Alquran. Bukan Khansa. Dia menggeleng. Meskipun dia mencinta dan menikah adalah obatnya, tapi Khansa tidak mungkin sudi bersanding dengannya. Rama tidak ingin terlalu berharap.
Adek Khansa. Ah, mungkin akan begitu. Menjadi kakak-adik selamanya. Teringat pesan Ustaz Bakhtiar, jika cinta tidak kesampaian, itu bukan perkara besar.
Lantas siapa yang akan menjadi tambatan hatinya kelak?
Barangkali ada muslimah lain yang sama-sama berjuang seperti Rama. Entahlah. Rama belum mau memikirkan sekarang. Untuk saat ini, yang Rama tahu, rindunya cuma tertuju pada satu nama. Namun harapan tertingginya pada Khansa, hanyalah menggapai maaf dan mengukir senyum di bibirnya.
Malamnya, ia bangun saat jam di hapenya menampilkan angka 02.00. Rama salat tarawih seperti biasa. Tanpa witir, karena sudah ditunaikan selepas isya' bersama Sean dan Sri. Malam ini, pemuda gagah itu agak lama berdiri, rukuk, dan sujud. Malam ke-27. Berharap Lailatur Qadar jatuh di malam ini. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam di mana para malaikat turun ke bumi.
Usai salat, Rama menengadahkan tangan. Bersungguh-sungguh memohon ampunan serta memanjatkan banyak doa. Sangat lirih ia berucap. Namun ia tak kuasa menahan suara yang terisak-isak.
"Allāhumma innaka 'afuwwun karīm tuhibbul 'afwa, fa'fu 'annī .... Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf nan mulia yang suka memaafkan, maka maafkanlah aku."
Itulah doa pertama yang Rama panjatkan. Doa pertama dan diulang-ulang. Karena doa itu sungguh istimewa. Doa yang dianjurkan dibaca di malam Lailatul Qadar.
Meminta 'afwun atau maaf.
"Emang apa bedanya dengan allāhummaghfirlī, Pak Lek?" tanya Rama ketika Ustaz Bakhtiar memberi pesan kepada Rama, untuk membaca doa tersebut di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan.
"'Afwun memiliki penekanan makna yang sedikit berbeda dengan maghfirah. Kalau 'afwun menonjolkan makna menghapus, sedangkan maghfirah menonjolkan makna menutup," tutur Ustaz Bakhtiar dengan nada tenang seperti biasa.
"Jadi, ketika kita meminta 'afwun pada Allah, berarti kita meminta penghapusan dosa sampai hilang tak berbekas, sehingga Allah batal menghukum. Tapi kalau kita meminta maghfirah, berarti kita meminta agar dosa-dosa kita ditutup. Sehingga kita selamat dari terbongkarnya aib di dunia, dan selamat dari dipermalukan di hari penghisaban," imbuhnya.
Kedua mata Rama basah. Dia benar-benar berharap agar dosa-dosanya dihapus. Bukankah salah satu penyebab manusia ditimpa musibah dan keburukan adalah karena dosa-dosanya?
Rama takut, karena dosanya, ia akan dilalaikan dengan perkara-perkara dunia. Dia takut, karena dosanya, ia akan terhalang dari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dia takut, karena dosanya, ia akan diuji dengan penyakit berat. Dan masih banyak ketakutan-ketakutan lain yang tersimpan di pikirannya.
Setelahnya, Rama mendoakan Almarhum Papi. Sosok yang mendidiknya, menjadi teladan baginya. Ah, mengingat Papi selalu berhasil membuatnya kehabisan napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
Любовные романыSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...