Terminal keberangkatan domestik Bandara Internasional Soekarno-Hatta sudah ramai. Meskipun masih pagi. Jam di pergelangan tangan Rama bahkan baru menampilkan angka 7.15 WIB.
Orang-orang bergerombol sesuai koloni. Sebagian tampak mengobrol asyik hingga tawa tersembur dari bibir masing-masing, sebagian saling diam, sebagian sibuk memindahkan barang dari bagasi mobil ke atas troli. Riuh. Wajar saja karena akhir pekan.
Setelah mengambil tas carrier jumbo dari bagasi mobil milik sopir taksi online, Rama berdiri menyandarkan bahu di tiang besar. Tangan kirinya dibenamkan ke dalam saku celana, sedangkan tangan kanannya meremas gagang troli. Benda itu didorong, ditarik, didorong lagi, ditarik lagi. Seperti anak kecil memainkan mobil-mobilan. Yang membedakan, tak ada mata yang berpendar ceria. Malah, kedua mata itu kosong, menerawang apa yang tersaji di balik atap.
"Mas Dewa sama Mas Bima sudah keluar tol," ucap Mami seraya memasukkan hape ke dalam tas cangklong. Usai menelepon.
Rama tersenyum sekilas. Mulutnya mengucapkan kata oke tanpa suara. Pemuda bertopi baseball itu menegakkan tubuh. Tangan kanannya merogoh hape dari saku celana. Mengecek pesan sebentar lalu mematikan kembali layarnya saat menyadari Mami sudah berdiri tepat di hadapan.
"Dengerin Mami!" Wanita paruh baya itu menggenggam erat kedua tangan Rama. "Jadi dokter yang baik! Ikhlas mengabdi!"
Rama mengangguk kecil sambil tersenyum. "Ada lagi, Mam?"
"Salatnya dijaga!"
"Siap!"
"Sering-sering telepon Mami!" ucap wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
"Tentu. Kalau ada sinyal. Haha. Apa lagi?"
"Makannya diperhatikan. Kesehatannya juga. Nggak lucu kan, kalau dokternya yang sakit?" Setitik air mata bergulir. "Mami nggak bisa kirim masakan ke sana."
Rama mengusap air mata ibunya sambil berusaha tertawa. "Mami ...," gumamnya manja. Ia memeluk tubuh gempal itu. Dihirupnya aroma lavender dari pelembut pakaian yang menguar samar. Wangi yang akan ia rindukan. Selalu.
Dari balik kerudung Mami, Rama menyapu pandangan di antara kerumunan. Berharap ada sosok gadis berlari tergesa-gesa, celingukan, menyelinap di antara keramaian, mencarinya. Menemui untuk terakhir kali, lalu memberi pesan-pesan sebagaimana Mami, atau minimal mengucap kalimat, "Hati-hati, Mas Rama!"
Tidak mungkin. Rama menggeleng lalu mendesah kecewa. Gadis itu bahkan hanya melirik sekilas saat mendapati Rama sibuk packing di ruang keluarga.
Rama sudah mencoba bicara, tapi gagal. Mulutnya seperti auto-locked saat berhadapan dengan Khansa. Rama juga sudah mencoba cara yang sedikit dramatis. Menulis surat. Berkali-kali tak pernah selesai dan selalu berakhir di keranjang sampah.
Serumit itukah jatuh cinta?
Tunggu. Jatuh cinta?
Apa lagi?
Berhari-hari Rama kelimpungan mencari istilah yang tepat untuk mendeskripsikan perasaannya sendiri. Jika hendak menjadi kakak, kakak macam apa yang jantungnya berdentam saat berhadapan dengan adiknya? Adik macam apa pula yang wajahnya selalu muncul di malam-malam sebelum mimpi membuai angannya?
Rama laki-laki normal. Tidak ada keidentikan struktur DNA yang mengikat mereka. Sejak kebencian itu pudar, inderanya tak bisa menampik aneka pesona yang tersuguh tanpa sadar. Muncul keinginan untuk melindungi, memeluk, menggenggam tangan itu kembali, mengecup kening menjelang tidur, bicara banyak hal, menghapus jarak yang terbentang sekian jauh dan sekian lama. Bagaimana caranya jika ... jika ... bukan menjadi seseorang yang halal satu sama lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
RomanceSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...