"Laptop, hape, berkas-berkas yang mau di-fotocopy, ...."
Rama terperanjat. Pintu kamar yang sedikit terbuka, membuat gumaman Khansa bisa tertangkap oleh telinga. Gadis itu bersiap-siap keluar. Sepagi ini? Bahkan di saat jam dinding di kamarnya baru menampilkan angka 06.30 WIB.
Ada dorongan kuat untuk menyapa. Beberapa detik Rama menimbang-nimbang. Ini sekedar hawa nafsu atau apa? Meninggalkan muraja'ah demi tersenyum dan sekedar 'say hallo' dengan gadis yang dicintai?
Tidak. Rama menggeleng, mengusir keinginan itu dari pikiran. Namun tenggorokannya tiba-tiba kering. Dia butuh segelas air putih dan masalahnya, si air tidak bisa berjalan sendiri ke kamar.
Digembungkannya kedua pipi tanpa sadar. Dibuangnya napas dengan kasar. Duhai jantung, berhentilah berjingkrak. Ini bisa membuat Rama salah tingkah, salah ucap, dan salah ekspresi.
Sudahlah, biasa saja. Dulu juga tidak begini.
Seiring kaki mengayun, pikirannya sibuk memilih, bersikap cool atau ramah?
Begitu mencapai ambang pintu, didapatinya Khansa sibuk memeriksa isi mapnya, sambil bergumam tidak jelas.
"Cie yang lagi sibuk skripsi," ujar Rama setelah menyandarkan bahunya di kusen pintu.
Khansa menoleh kaget. Segera ia menjejejalkan beberapa berkas ke dalam map. Tanpa menunggu kalimat Rama berikutnya, ia berjalan tergesa ke dapur, menemui Mami.
Ekor mata pemuda salah tingkah itu mengikuti langkah adiknya. Dia tersenyum sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Ramah bukan, cool juga tidak. Dia heran sendiri.
"Mami, Khansa berangkat dulu, ya?"
"Sarapan dulu, Sayang. Bentar lagi siap, kok." Tangan Mami cekatan mengaduk-aduk nasi goreng, yang baru diberi tambahan dengan setengah sendok garam.
"Ada jadwal bimbingan jam tujuh, Mi .... Khansa sarapan di kampus aja, ya?" Gadis bergamis marun itu merengek di sebelah ibu angkatnya.
Sambil menuangkan air dari dispenser, Rama melirik Khansa sekilas. Punggung kurus itu digelayuti ransel yang tampak gendut. Kedua tangannya memeluk dua buah map plastik transparan yang berisi berkas-berkas tebal. Kasihan. Ingin mengantar, tapi ....
"Bawa bekal!" tegas Mami. "Jum, buatin susu cokelat, taruh di botol. Sama siapin air mineral," perintah Mami pada ART-nya yang sedang sibuk mencuci piring.
Wanita Jawa berkulit gelap itu lekas melaksanakan perintah.
Khansa tidak bisa menolak. Sambil menunggu, gadis itu duduk di sebelah meja makan, mengusap-usap layar hapenya.
"Itu ransel penuh banget. Nggak imbang sama badan. Nggak takut oleng, apa?" kata Rama yang duduk di seberang meja. Dia menenggak habis air putih dari gelas dengan kedua mata menatap ke arah adiknya.
"Den Rama ini, yo .... Bukannya ngantar, malah ngeledek," sahut Mbok Jum yang sedang mengaduk susu di gelas.
Mami tertawa kecil. Ada rona bahagia terpancar mendengar anak-anaknya 'bertengkar'.
Eh, antar? Jantung Rama bergeming sesaat. Harusnya dia menyahut, "Ayo, aku antar!" Tapi demi menyelamatkan debar jantungnya, dia malah berujar, "Berani bayar berapa?" —lengkap dengan cengiran nakal. Sekuat tenaga pemuda gagah itu menahan senyuman. Sembari memperhatikan mimik muka Khansa lewat kerlingan, dia mengambil sepotong bolu dari kulkas lalu kembali ke kamar.
Khansa mendengkus. Setelah Mami meletakkan kotak bekal di atas meja, gadis itu meliriknya sebal. "Nggak usah repot-repot!" Khansa berdiri dan bergegas memasukkan kotak bekal, botol susu, dan botol air mineral ke dalam tas kain yang sudah disiapkan Mami. "Berangkat dulu ya, Mi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
RomanceSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...