8. Ambyar (a)

6.4K 366 14
                                    

(Dijadikan dua bagian, karena ada lebih dari 20.000 kata. Antisipasi kalau lemot waktu dibuka.)

Pria berusia 32 tahun duduk bersisian dengan Rama di sebuah teras. Tempat tinggal sementara para relawan. Salah satu rumah warga yang disewakan.

"Jadi Bang Ali akan kembali ke Jawa besok?" tanya Rama dengan nada kehilangan.

Lelaki berjaket parka itu mengangguk pasti. "Insyaallah. Ramadan sebentar lagi. Enggak enak kalau jauh dari rumah. Lagi pula, proyek sudah selesai."

Ramadan. Dada Rama seperti tercabik. Bulan puasa selalu berhasil menghidupkan kenangan indah bersama Almarhum Papi. Lalu ia akan menjalani bulan suci dan lebaran di sini? Tiba-tiba dia ingin pulang, tapi tidak mungkin. Rama melipat bibir.

"Oh, ya? Kalau nanti nikah, kabari Abang, ya? Siapa tahu bisa ke Jakarta." Ali tersenyum, menampilkan kedua lesung pipi.

Rama berdecak. "Abang dulu, lah!" Lengannya mendorong lengan Ali hingga lelaki berwajah teduh itu oleng.

Ali tertawa sambil menata kembali letak duduknya. "Ya ya ya. Doakan saja."

Beberapa warga yang lewat di depan rumah menyapa ramah. Rama dan Ali membalas dengan senyum terbaik yang mereka punya. Hal seperti inilah yang membuat Rama cukup betah di desa tertinggal ini, keramahan para penduduknya. Sesuatu hal yang mungkin langka di Jakarta.

"Kriterianya kayak gimana sih, Bang? Siapa tahu bisa bantu nyariin."

Lagi-lagi Ali tertawa. "Tidak muluk-muluk sebenarnya. Yang penting akhlak dan agamanya bagus."

"Itu sih, high class." Rama terkekeh pendek seraya melirik Ali sekilas. Kemudian ia mendongakkan wajah, memandang langit biru yang terhampar tanpa awan. Senyumnya mengembang, seolah mendapati sesosok wajah manis di atas sana. Pemilik wajah itu .... Ugh, memikirkannya membuat dada Rama berdebar-debar gila.

Ali tertawa renyah. "Yah, semoga masih ada stok untuk perjaka tua kayak saya."

"Perjaka matang kali, Bang." Rama buru-buru mengoreksi.

"Begitu juga boleh." Ali tertawa sejenak lalu diam. Tatapannya menerawang entah ke mana. "Dulu ... saya pernah hampir menikah."

Rama seketika menoleh. Menatap Ali lekat. Ingin segera menanggapi dengan pertanyaan "terus" atau "lalu", tapi ia urungkan. Khawatir Ali tidak berkenan menceritakan luka lamanya.

"Tapi Allah berkehendak, saya menjomlo sampai sekarang." Ali terkekeh seraya menampilkan gurat luka di wajahnya.

Kedua lelaki itu diam. Mengawasi tingkah angin yang mengombang-ambingkan daun-daun mahoni kering. Mungkin seperti dedaunan itulah suasana hati Ali saat ini.

"Saya bilang hampir, karena hari dan tanggal sudah ditentukan." Ali menghela napas. "Lalu tanggal 12 Desember 2014 ada bencana tanah longsor di Banjarnegara. Saya ikut membantu evakuasi. Akad nikah direncanakan tanggal 20-nya. Tapi sampai tanggal 18, saya belum pulang. Keluarga si akhwat khawatir saya tidak menepati janji. Akhirnya ...," dia menghela napas lagi, "mereka membatalkan begitu saja." Ali tertawa miris.

"Waktu itu hape saya hilang. Mungkin jatuh di lumpur atau di mana, saya tidak mau pusing mencari. Tidak penting, pikir saya. Jadi memang tidak bisa dihubungi. Tapi besok malamnya saya pulang. Keluarga dan tetangga histeris. Rupanya, si akhwat sudah terlanjur dijodohkan dengan ikhwan lain. Demi menutup malu, katanya." Ali menyemburkan napas, lalu melanjutkan, "Yang membuat saya benar-benar sakit, saat melihat ada luka di wajah orang tua."

"Secepat itu keluarga akhwat cari pengganti?" Rama tak habis pikir.

Ali menoleh Rama sembari mengangkat bahu. "Yang jelas, ini ujian dari Allah."

Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang