8. Ambyar (b)

6.3K 419 29
                                    

"Rama khawatir terlalu terobsesi untuk menikah dengan gadis itu. Bukankah Allah akan menguji manusia dengan apa yang paling mereka inginkan? Lagian, kemungkinan besarnya, gadis itu akan menolak."

Ustaz Bakhtiar tertawa renyah. "Subhanallah. Bahwa Allah akan menguji hamba-Nya dengan apa yang paling diinginkannya, itu benar. Tapi begini Rama," Ustaz Bakhtiar berdehem, "Islam tidak melarang jatuh cinta. Perasaan tertarik dengan lawan jenis itu fitrah. Itu perasaan alami manusia. Nabi juga pernah jatuh cinta. Bahkan beliau bersabda, tidak ada obat yang paling mujarab bagi orang yang mencintai, selain pernikahan. Tentu saja menikah dengan orang yang dicintai. Hanya saja ... Nabi juga mengajarkan, kalau cintanya tidak sampai, itu bukan masalah yang harus dibesar-besarkan."

Rama melipat bibir sambil menjentik-jentikkan jari pada buah jambu yang masih berkulit hijau. Aktivitas ringan yang membantunya meredam letupan dalam dada.

"Nabi pernah jatuh cinta sama sepupu beliau sendiri. Namanya Ummu Hani' binti Abi Thalib. Ya mungkin karena sering bertemu di rumah, karena setelah kakeknya wafat, Nabi tinggal bersama pamannya yang bernama Abu Thalib. Jadi sangat wajar jika beliau tertarik dengan Ummu Hani'. Tapi pada suatu hari, Nabi mendengar pamannya hendak menikahkan Ummu Hani' dengan laki-laki berkedudukan dan berharta. Nabi tahu diri dan akhirnya mundur.

"Setelah suami Ummu Hani' syahid di medan perang, Rasulullah menyampaikan keinginan beliau untuk menikahi Ummu Hani'." Terdengar Ustaz Bakhtiar menghela napas. "Tapi saat itu, Ummu Hani' belum bersedia dan mengatakan bahwa anaknya masih kecil-kecil. Ya ... mungkin khawatir tidak bisa melayani Rasulullah dengan maksimal. Tapi apakah Rasulullah bersedih? Tidak ada satu riwayat pun yang menceritakan. Artinya apa? Bahwa hal seperti ini bukan masalah besar."

Penjelasan Ustaz Bakhtiar benar-benar mencerahkan. Usai telepon ditutup, Rama berdiam sejenak di atas pohon. Beberapa saat kemudian, dia menemukan titik terang, mau diapakan perasaan ini.

Matahari kian tinggi seiring angka di arlojinya yang terus bertambah. Dokter muda itu pun turun. Satu jam lagi, dirinya harus tiba di Puskesmas. Ada seabrek 'PR' yang ditargetkan untuk segera rampung. Memang tidak mudah bertugas di daerah tertinggal. Selain Puskesmas yang belum terkondisikan dengan layak, juga ada segudang program yang mandeg karena kurangnya sumber daya.

Rama menyentak napas. Dirinya berharap, masalah ini segera kelar. Maksimal lusa, karena tiga hari lagi bulan Ramadan tiba. Sungguh, ia ingin melewati Bulan Suci dengan hanya melayani pasien, tak lagi dengan persiapan sistem administrasi dan pengaturan tata ruang.

Sembari berjalan menuju rumah dinas- yang jaraknya sekitar 500 meter dari pohon tempatnya mencari sinyal- Rama menyusun serangkaian agenda. Setelah ini mandi, sarapan, dan mengecek kembali berkas-berkas yang sempat ia siapkan tadi malam. Namun belum separuh perjalanan, dirinya sudah dicegat oleh seorang warga dengan wajah panik.

"Anak saya ada kecelakaan, Dokter!" seru seorang bapak- berusia sekitar 40 tahun -dengan cemas. "E ... kakinya ada ... ada patah, terus banyak sekali itu darah mengalir," jelasnya dengan bibir bergetar. Lalu tanpa di minta, si bapak menjelaskan kronologis kecelakaan dengan napas tersengal-sengal.

"Oke, oke. Di mana?" Rama memegang lengan si bapak agar bisa sedikit tenang.

Bapak itu lalu membimbing Rama menuju rumah dinas. Suasana sudah ramai. Beberapa warga berkumpul. Sedangkan si anak sudah berbaring di atas tikar di ruang tamu. Mona, Frans, dan Sri sudah turun tangan, berusaha menghentikan darah yang mengalir dari pergelangan kaki. Ada beberapa luka lecet di tangan. Frans dan Mona terlihat grogi. Barangkali karena belum berpengalaman menangani kasus-kasus seperti ini. Ditambah lagi raungan si anak yang mengganggu konsentrasi.

"Hei, Yohan ...." Rama tahu anak itu sering mengajaknya ngobrol di lapangan. "Lihat, saya!" Rama menekan pundak Yohan. Tekanan yang kemudian direspons anak lelaki itu dengan tidak lagi mengeluarkan suara yang mengiris-iris jiwa. "Tenang, oke!" Rama menatap Yohan dalam-dalam. Ia ingat bagaimana Dokter Fitra menenangkan anak-anak yang panik saat terluka. "Tarik napas ... embuskan." Melihat Yohan meniru, Rama berseru, "Bagus!"

Seketika teman-teman Rama yang sedang bekerja bengong dan saling menatap.

Yohan kembali menangis, tapi tidak disertai raungan seperti tadi. "Kaki saya ada patah, Dokter. Saya sudah tidak bisa bermain bola."

Rama tersenyum. "Dokter periksa dulu, ya?" Pandangannya tertuju pada pergelangan kaki kanan yang bersimbah darah. Rama menghela napas. Lalu ia meminta sarung tangan dan masker. Mona mengulurkannya dengan tangan gemetar. Setelahnya, Frans menarik tubuh Mona lalu menggenggam jemari gadis itu.

Rama menggeleng samar. Ingin sekali berteriak, get a room, please! Namun memilih mengabaikan. Lalu dokter itu menghela napas dan mengucap basmalah. Dia segera memberi perintah pada Sri untuk memasang selang infus dan membersihkan luka di bagian tangan. Bidan itu mengangguk paham. Dia satu-satunya orang yang masih waras menyikapi insiden ini. Sean? Pria itu pasti sudah sembunyi lantaran takut darah.

Sembari tangannya bekerja, Rama mengajak Yohan berkomunikasi untuk mengalihkan perhatian anak kelas sepuluh itu. Rama memintanya menjelaskan detik-detik ketika dirinya jatuh dari motor.

Sambil meringis, Yohan bercerita. Meskipun sudah tahu kronologisnya dari sang ayah, tapi Rama masih menanggapi dengan mimik muka penuh minat.

Jalan yang belum diaspal, menjadi tantangan tersendiri di desa ini. Ketika melewati tikungan yang bergelombang, motor Yohan yang melaju dengan kecepatan 65 KM/jam kehilangan keseimbangan. Anak berseragam putih abu-abu itu memang bersekolah di SMA yang jaraknya hampir 10 KM dari rumahnya. Tadi pagi dirinya kesiangan. Sehingga melajukan motor dengan kecepatan lumayan.

Setelah Yohan selesai dengan cerita itu, Rama membahas nama-nama pemain bola. Meskipun kurang hobi menonton pertandingan olah raga yang mengandalkan kaki, setidaknya Rama tahu nama-nama bintang lapangan yang terkenal.

Setengah jam, tindakan sementara selesai dilakukan. Mengingat sendi pergelangan kaki Yohan bergeser, akhirnya Rama merujuknya ke rumah sakit umum di Kota Ende. Tidak ada pilihan lain. Harus ada pengambilan foto X-Ray agar tindakan selanjutnya bisa tepat. Namun, anak berambut keriting itu menolak.

"Yohan harus pergi ke Kota biar bisa main bola lagi," jelas Rama singkat.

Yohan berpikir sejenak, setelahnya ia bertanya, "Dokter ada yakin, e ... kaki Yo sembuh?"

Rama mengangguk. Memberikan senyuman penuh arti.

"Yo tidak pergi sekolah?" tanya anak itu lagi dengan tatapan nakal.

Ayahnya dan semua orang yang hadir tertawa. "Yo libur dulu. Mau kasih betul dulu itu kaki."

Yohan dibopong ayahnya masuk ke dalam ambulan. Para warga menunggu di luar. Beberapa menit kemudian, mobil putih itu bergerak meninggalkan pekarangan.

Mona mendekati Rama yang sedang menyaksikan ambulan semakin menjauh. Satu persatu warga berpamitan. Gadis Minahasa menyusupkan tangannya di sela-sela lengan kokoh Rama. Sang gadis tersenyum manis lengkap dengan semburat rona di pipinya.

Rama menoleh kaget dan langsung menarik diri. Ia memandang Frans yang tengah mengawasi. Dokter itu tersenyum canggung, lalu mengalihkan pandangan pada Sri yang sedang beberes. "Sri, panggil Sean dari tempat persembunyiannya! Suruh dia bantu beres-beres."

"Tidaaaak!" Sean melengking dari dalam kamar, mengalahkan gelegar suara Sri yang memanggil-manggil namanya.

Rama terkekeh-kekeh seraya membuka pintu kamar. Mendapati Sean bersembunyi di balik selimut, Rama lekas menubruk tubuh yang membentuk gundukan di atas kasur.

"Heh! Malah enak-enakan di sini!" Rama menarik paksa tubuh Sean. "Bantuin Sri-mu sana!"

Sean melawan sambil teriak-teriak histeris, tapi Rama berhasil memaksanya keluar. Sambil meredakan tawanya, Rama mengusap layar hape dan mendapati sebuah SMS dari Mami.

'Khansa demam. Mami harus gimana biar kejadian seperti dulu nggak terulang?'

Kontan sistem pernapasan Rama mogok kerja. Ia menghempaskan tubuhnya yang mendadak lemas ke atas dipan. Pikirannya ambyar.

---- bersambung ----

Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang