"Tidak ada satu pun manusia di kolong langit ini yang bersih dari dosa, kecuali para Nabi," tutur Ustaz Bakhtiar usai mendengar rentetan curhat dari Rama. Via telepon, keesokan pagi. "Rama harus ingat itu."Rama menghela napas, berharap nyeri di dada mereda. Matanya mengintip mentari yang sudah menyapa dengan hangatnya. Tetes-tetes air sisa gerimis tadi malam masih menggantung di daun dan dahan. Bergerak ekstrim, Rama bisa diguyur hujan lokal dadakan.
"Kabar baiknya, Allah Maha menerima taubat. Bahkan dalam sejumlah ayat, Allah menyatakan kecintaan-Nya pada hamba-hamba-Nya yang bertaubat."
Hening. Dari celah dedaunan, Rama bisa menyaksikan para warga berpakaian rapi, berduyun-duyun pergi ke Kapela. Satu-satunya rumah ibadah umat Katolik di desa ini.
"Rama?"
"Ya, Paklek?"
"Masih dengar, ya?"
"Masih."
"Oke. Lanjut, ya?"
"Iya, Paklek." Sudah lama tidak mengobrol dengan Ustaz Bakhtiar, sebetulnya membuat Rama agak kikuk. Dia malu. Menghilang sekian lama dari pamannya. Tetapi kata Mami, tidak boleh malu untuk urusan ilmu agama.
"Ada satu ayat Alquran, dalam Surah Az-Zumar, yang kata para ulama tafsir, mengandung roja' yang sangat besar. Roja', simpelnya bermakna harapan." Ustaz Bakhtiar berdehem. "Lafalnya begini, 'Qul yā 'ibādiya al-lażīna asrafū 'alā anfusihim lā taqnaṭu min rahmatillāh.' Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang berkali-kali berbuat maksiat."
Ustaz Bakhtiar mengambil jeda sejenak.
"Lihatlah bagaimana Allah menyeru! Hamba-hamba-Ku yang bermaksiat berkali-kali!"
Rama menggigit bibir, memejamkan mata hingga sebulir bening terjun dari kelopaknya. Dirinya merasa menjadi bagian yang diseru itu.
"Bukan hanya sekali, dua kali, atau tiga kali. Tapi berkali-kali, Rama! Jam sekian bermaksiat, satu jam kemudian bermaksiat lagi. Malamnya bermaksiat lagi. Tapi bagaimana firman Allah selanjutnya? Lā taqnaṭu min rahmatillāh. Jangan berputus asa dari rahmat Allah! Jangan sampai maksiat-maksiat yang menumpuk itu membuat kita merasa ... ah, sudahlah, aku sudah banyak dosa. Nggak ada harapan untuk diampuni." Ustaz itu menghela napas lalu berdehem dua kali. "Tidak boleh. Allah melarang kita berputus asa di hadapan-Nya."
Rama terpekur. Ia menumpukan kening pada batang di hadapannya. Bayang-bayang dosa bermunculan di kepala. Memenuhi otaknya. Membebani tubuhnya yang satu pekan ini kurang berselera makan.
"Lalu lihat lafal selanjutnya, 'Innallāha yagfirū al-żunūba jamī'an.' Allah mengampuni SELURUH DOSA." Ustaz Bakhtiar mengambil napas panjang. "Lafal inilah yang menumbuhkan harapan bagi kita, yang berkali-kali bermaksiat ini, bahwa Allah akan mengampuni. Mengampuni semua jenis maksiat yang pernah kita lakukan."
Rama menitikkan air mata tanpa sadar. Terharu. Rupanya, Allah yang sering ia lupakan memiliki ampunan seluas itu.
"Lalu Allah menegaskan lagi, 'Innahū huwa al-gafūrun al-raḥīm.' Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang." Ustaz Bakhtiar berdehem lagi. Lebih keras. "Gafūr itu maknanya mengampuni tapi sifatnya berkali-kali."
Ya Allah .... Betapa ia menyesal telah meninggalkan Allah sekian lama.
"Paham, ya, Rama? Jangan putus asa. Ndak boleh." Ustaz Bakhtiar bicara dengan lembut.
"Paham, Paklek," lirih Rama. Lemah. Tangan kanannya memainkan kulit-kulit kayu jambu yang terkelupas.
"Alhamdulillah. Oke, soal keberadaan Rama di sana ... jangan pernah berpikir bahwa itu cara Allah untuk menghukum. Kita kan tidak tahu, rencana apa yang Allah siapkan untuk seorang Rama. Jadi ... saya hanya menyarankan, berprasangka baiklah sama Allah, Yang Maha Mengatur seluruh makhluk di muka bumi. Hadirnya Rama di sana, tentu tidak lepas dari bagian skenario hidup yang Allah siapkan untuk Rama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)
RomanceSekuel Meniti Surga Bersamamu. Sudah bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) Bagaimana jadinya jika seorang lelaki jatuh cinta pada adik angkatnya sendiri? Yang selama ini sangat ia benci? Itulah yang dialami oleh Rama Febrian Atmaja...