13. Merelakan

7.9K 494 66
                                    

"Gimana kalau nikah sama Khansa aja?"

Gurauan Mami tadi malam mengganggu pikiran Rama, lengkap dengan ekspresi penolakan Khansa. Lalu malam ini dia harus melakukan tugasnya?

Sekuat tenaga Rama menekan perasaan, menjejalkannya ke dalam hati yang paling dalam, dan menutupnya rapat-rapat agar tidak muncul ke permukaan.

"Baiklah, malam ini ada pasien yang sangat istimewa," bisik Rama pada dirinya sendiri. "Lakukan tugasmu dengan baik, Pak Dokter!"

Memang tidak mudah 'menaklukkan' Khansa. Gadis itu jengkel luar biasa. Mukanya merah padam. Perlu dirayu Mami beberapa kali agar dia mau diobati. Sembari menunggu hatinya lunak, Rama terus berdoa dalam hati, "Allahumma yassir. Ya Allah, mudahkanlah urusan hamba."

Perlahan, Rama menarik tangan Khansa yang sudah berlumuran darah. Ia bersihkan hingga bisa dipastikan tidak ada bercak yang tertinggal. Sejak kecil adiknya menderita hematophobia atau phobia darah. Meski hanya goresan pisau kecil, sudah sanggup membuatnya gemetar. Kalau banyak seperti malam ini, efeknya muntah.

"Mukenanya boleh dilepas, nggak? Udah kena banyak darah, loh," tanya Rama ketika mendapati area luka terlalu mepet dengan pinggiran mukena. Selain sudah basah oleh darah, juga agak menyulitkan pekerjaannya.

Bukannya hendak kurang ajar atau mencari kesempatan. Namun untuk keperluan pengobatan, seorang dokter memang diizinkan untuk melihat bahkan menyentuh wilayah yang menjadi aurat. Meskipun resiko besarnya ...  jantungnya akan berdebar sangat kencang.

Khansa tidak menjawab, tapi malah menatapnya tajam.

"Mukenanya boleh dilepas?" tanya Rama sekali lagi.

Khansa menggeleng pelan.

"Ya udah, nggak papa," kata Rama dengan senyuman terbaiknya. Dia sudah bisa menebak, adiknya akan menjaga aurat sekuat tenaga. Ah, memori tiga tahun lalu tersingkap. Rasa bersalah itu kembali menikam batinnya.

Mami yang masih stand-by di sisi putrinya, menarik mukena Khansa agak ke belakang. Lumayan, sedikit menjauhi area luka. Rama pun melanjutkan tugasnya.

"Maaf, ya? Kayaknya tadi box ularnya dimainkan si Kembar lagi. Aku nggak tahu," ucap Rama mencoba santai.

Dia ingin mengalihkan irama debar jantungnya yang melompat-lompat tidak beraturan. Baru kali ini, menghadapi Khansa dalam jarak sedekat itu. Bahkan ia bisa merasakan hangatnya embusan napas dari gadis yang kini menatapnya sebal.

"Terus, ularnya kabur. Gesit banget, ya? Padahal gede badannya."

Rama benar-benar ingin menepuk dahinya sendiri, menyadari betapa kalimatnya tidak bermutu. Lihatlah, Khansa malah semakin jengkel.

Oke, mari ganti topik. Rama sibuk memilah-milah tema yang berjajar di pikirannya.

"Eh, besok kamu sidang, ya?" Dia melirik mata Khansa, ingin melihat perubahan riak wajahnya.

"Argh!" Khansa mengepalkan tangan, hampir meninjunya.

"Eh, maaf, maaf. Perih, ya?" Rama menggigit bibir. Dia malah melakukan kesalahan, kapasnya menekan area luka.

Khansa mengangguk pelan.

"Kamu, sih!" seloroh Mami sembari memukul pundak Rama, menyisakan rasa panas.

"Ini kecelakaan, Mami ...."

Dari luar kamar terdengar Bima dan istrinya bertengkar, saling menyalahkan. Mami lekas keluar, sedangkan Khansa menunduk. Air matanya berguguran tanpa jeda.

Menyaksikan itu, Rama menghentikan pekerjaannya sejenak. Dirinya menghela napas, mengambil tisu dari atas meja belajar, lalu berdehem sambil menyodorkannya pada Khansa. Jangan nangis, please.

Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang