11. Melepas Rindu

7.2K 463 95
                                    

Hari berganti pekan. Pekan terlipat menjadi bulan hingga genap dua tahun. Program demi program terlaksana dengan baik secara keseluruhan. Senyum Rama pun mengembang, mengucapkan terimakasih pada segenap tim Puskesmas, juga seluruh jajaran pemerintahan setempat yang telah melayani timnya dengan optimal.

Sudah saatnya berpisah. Rama, Sri, dan Sean dilepas dengan keharuan. Anak-anak memeluk ketiganya dengan uraian air mata.

"Pak Dokter, kalau nanti sudah potong itu rambut ... e ... jangan lupa kirim foto ke sini," ucap salah satunya dengan polos.

Rama tergelak. Rambutnya yang ikal memang sudah mencapai pundak. Dia khawatir, Mami akan protes soal ini. Apalagi jenggot dan kumisnya sengaja ditumbuhkan tapi tidak dirawat. Sudah seperti rumput liar, mencuat ke segala arah.

"Tetap saling berkabar," ucap Rama kepada Sri dan Sean setibanya mereka di Bandara El-Tari, Kupang.

Ya, di sinilah ketiganya akan berpisah. Dari Ende ke Kupang, mereka masih satu pesawat. Lalu meningap satu malam di hotel dekat bandara. Dari Kupang, Rama langsung ke Jakarta, sedangkan Sean dan Sri ke Surabaya.

"Jangan melakukan sesuatu yang aneh-aneh." Rama mengerling Sean.

Sean meninju bahu Rama sambil tertawa. Selama bertugas, pemuda Jawa itu menepati janjinya untuk tidak pacaran, meskipun dirinya sering kepergok dekat-dekat dengan Sri. Sean pun sudah mengatakan rencananya akan melamar Sri dalam waktu dekat.

"Semoga rencana baik kalian berjalan lancar," ucap Rama kepada Sri.

Sri tersipu malu. "Amin .... Makasih, Mas Rama."

"Jangan lupa undangannya dikirim ke Jakarta. Kalau yang dikirim cuma foto doang, entar aku ngasih kadonya juga dalam bentuk foto."

Ketiganya lantas tertawa bersama. Lagi-lagi Sean ingin menerjang Rama. Sedikit-sedikit Sean belajar Pencak Silat. Meskipun hanya ilmu basic untuk melindungi diri dari serangan tak terduga, tapi pukulannya sudah lumayan bikin bahu Rama panas.

Setelah panggilan boarding mendengung, Sean dan Sri akhirnya melepas Rama menuju gate berbeda. Keduanya menitikkan air mata kehilangan saat Rama melambaikan tangan, bergabung dengan antrian, menuju pesawat yang akan membawanya ke kota paling sibuk di Indonesia. Jakarta.

Begitu memasang sabuk pengaman, Rama menyemburkan napas. Jantungnya luar biasa bertingkah seiring pikirannya yang sibuk menimbang-nimbang sesuatu. Soal ... cara menyapa Khansa. Tentang ... bagaimana mengawali sebuah obrolan.

Terakhir mendengar suaranya, kurang lebih satu setengah tahun lalu. Saat lebaran. Khansa minta maaf dan dia hanya diam. Kira-kira apa yang Khansa pikirkan waktu itu? Dirinya masih semenyebalkan dulu? Sedingin sebelum pergi?

Badan pesawat merayap menuju landasan pacu. Rama menelengkan kepala demi melihat pemandangan luar jendela. Kali ini, pemuda yang sedang gelisah itu duduk di pinggir lorong kabin. Ia ingin menatap pemandangan di luar sembari memutar beribu kenangan selama di desa. Daerah tertinggal yang menjadi saksi betapa mahalnya harga sebuah iman, betapa sulitnya menghapus sebuah perasaan.

Badan pesawat menukik ke atas, Rama menegang. Beberapa doa ia panjatkan. Mengharap keselamatan kepada Yang Maha Melindungi dan Menjaga. Dzat yang menggenggam seluruh jiwa. Berkuasa atas segala nyawa.

Setelah lampu tanda kenakan sabuk pengaman mati, ia berusaha memejamkan mata. Kota Jakarta, suasana komplek, rumah lengkap dengan penghuninya, membayang-bayang di pikiran. Namun wajah Khansa dengan aneka ekspresi yang paling mendominasi. Ah, ya, bagaimana ia harus menyapa adiknya itu?

"Heh, Bocah!"

Argh! Bukan, bukan begitu! Sapaan lama, tidak boleh lagi dipakai.

"Hei, Sa!"

Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang