16. Kesempatan atau Ujian?

8.5K 596 69
                                    

'Ada akhwat yang siap nikah. Jika Rama berminat, nanti Paklik kirimkan biodatanya.'

'Ada wanita kantoran. Cantik. Usianya 25 tahun. Insyaallah cocok sama kamu yang hampir 28.'

Juga ... pesan Monalisa.

'Alhamdulillah. Sudah hampir satu tahun saya menjadi seorang muslimah. Ngana so ada calon istri, Rama?'

Rama menyemburkan napas mengingat ketiga pesan itu. Semuanya hanya dibaca, belum dijawab. Sambil fokus menatap jalanan, dirinya melirik Khansa yang duduk di sebelahnya. Gadis yang akan tetap ia jaga sampai keadaan benar-benar aman. Calon istri orang, pikir Rama. Mungkin. Rama menggeleng samar, tersenyum. Kembali menata hati sedemikian rupa agar ia bisa benar-benar bahagia melihat adiknya bahagia.

***

Tempat yang sepi. Rama berdecak tak percaya berada di area parkir alat-alat berat yang sudah jadi rongsokan. Semak belukar tumbuh di sana-sini. Apa begini cara pengedar narkoba bertemu kliennya? Seperti di film-film saja.

Arloji sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, tapi yang ditunggu belum tampak batang hidungnya. Ketika Rama mulai suntuk, sebuah mobil sedan mewah tapi penuh cipratan lumpur memasuki area itu lalu berhenti tepat di hadapannya. Kaca bagian sopir dibuka.

Martin.

Pemuda berambut jigrak itu menyalakan sebatang rokok, setelah mengisap dua kali, dia keluar dengan pongah.

"Oke .... Gue harap ada tawaran menarik dari lo, Pak Dokter." Martin memulai perbincangan setelah bersandar santai di sisi kap mobilnya.

"Jangan ganggu adik gue," ucap Rama datar.

Martin tersedak. Lelaki berkulit sawo matang itu tertawa sampai terbatuk-batuk. "Itu bukan sebuah penawaran, Pak Dokter." Martin menatap Rama santai. Lalu kembali mengisap rokoknya dan menyemburkan asapnya ke atas. "Gue tahu di mana adik lo sekarang." Ia menatap Rama dengan seringai penuh kemenangan.

Rama melipat dahi. Menunggu Martin menyebutkan keberadaan Khansa saat ini.

Martin merogoh hape dari saku jaketnya, lalu menyentuh-nyentuh layar. "Hmm ... Pesantren Darul ... 'Ilmi?" Ia menatap Rama dengan alis naik sebelah, seolah dirinya sudah unggul.

Sepasang mata Rama melebar. Jantungnya berdebar-debar.

Martin terbahak pendek. Ia beranjak, mengitari Rama sambil menikmati rokoknya. Memperlakukan dokter itu seperti mangsa. Setelah puas, ia berhenti di sisi kiri lawan bicaranya sembari menyemburkan asap rokok. "Jadi, masih belum ada tawaran menarik?"

Rama menahan napas, memejamkan mata. "Mau lo apa, Martin?" lirih Rama lemah.

Martin tertawa pendek, "Putusin Jean," lalu kembali menghisap rokoknya.

"Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Jean." Jawab Rama datar.

"Oke, kalau gitu ... suruh Jean balik ke gue."

Pilihan yang sulit. Rama meremas jemari sekuat tenaga. Emosi, tapi dia bisa apa?

"Oke. Lo cuma buang-buang waktu gue." Martin tersenyum licik. Ia membuang sisa rokoknya yang masih separuh, lalu menginjaknya hingga baranya tak tersisa. Dia membalikkan badan, membuka pintu mobil.

"Rahasia apa yang Jean simpan tentang lo?"

Martin menoleh, dahinya terlipat. Ekspresi kaget yang membuat Rama menaikkan alis. Akhirnya, ada sisi lemah lawan yang bisa ia andalkan.

"Oke. Kalau lo nggak ngasih tahu, Jean pasti akan ngomong ke gue. Dan ...."

"Nggak ada rahasia apapun. Ini murni soal harga diri."

Meniti Surga Bersamamu 2 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang