Chapter 22

13.2K 1.7K 232
                                    

Pasangan suami istri paruh baya itu berjalan cepat, hampir berlari, dengan raut kecemasan di wajah mereka masing-masing.

"Bagaimana kalau dia jatuh? Kasur itu terlalu tinggi untuknya" gumam Nyonya Kim.

"Yah, mungkin si Timun akan mati kalau jatuh. Dia kan kecil, sepertimu"

Tidak, hanya satu saja yang nampak panik diantara dua orang itu.

"Sudah kubilang namanya Jimin! Dan aku tidak kecil, suamiku saja yang terlalu tinggi!"

"Ya, ya, ya. Suamimu ini memang terlalu tinggi untuk istrinya yang pendek"

Nyonya Kim tak menanggapi lagi dan mempercepat laju kakinya, mendahului suaminya yang mengikutinya di belakang.

Dan tibalah mereka di tempat tujuan. Dengan kekuatan penuh, Nyonya Kim yang berada di depan langsung membuka lebar-lebar nan keras pintu tertutup itu.

"Jimin!"

Kedua bola matanya membelalak lebar saat melihat langsung ke arah kasur dimana ia yakin tadi ada cucu dan anaknya disana.

"Jimin kemana?!"

Buru-buru langkahnya mendekat dan dengan wajah semakin khawatirnya mulai berteriak, memanggil-manggil nama sang cucu.

Cucunya tidak ada disana. Tidak ada di kasur dimana tadi ia meninggalkannya.

"Matamu buta ya?"

Bukan kata penghibur yang keluar dari bibir manis sang suami.

"Kenapa bilang begitu?! Jimin hilang! Cucuku tidak ada!"

"Cucumu-"

"Bagaimana kalau Jimin diculik?! Bagaimana kalau ada orang jahat yang berniat meminta tebusan?! Atau bahkan ada yang mau menjual cucuku?!"

"Cucumu tidak masuk kriteria bayi yang akan dijual. Terlalu kecil, pasti murah"

"Ini salahmu! Kenapa melupakan Jimin?!"

Tuan Kimpun akhirnya menghembuskan nafas panjangnya. Sepertinya istrinya tidak bisa diajak bercanda sekarang.

Meski sudah puluhan tahun membina rumah tangga, Tuan Kim tidak akan pernah bosan untuk memeluk dan mencium istrinya ini. Istri yang dulu ia perjuangkan dengan sekuat tenaga. Tidak akan disia-siakannya.

Pelukan hangatpun diberikan agar sang istri setidaknya bisa tenang. Jika ucapan sudah tidak bisa masuk, maka pelukan mungkin bisa membantu.

"Sudah, kan masih ada cucu kedua"

Meski begitu, tidak akan pernah bosan pula untuk menghibur sang istri dengan ucapan tak seriusnya. Candaannya.

"Jimin~ Jim- hiks"

"Kau menangis? Sejak kapan nenek sihir ini bisa menangis untuk cucunya?"

"Jangan menggodaku! Hiks"

Dan merekapun berpelukan untuk beberapa saat ke depan. Hingga akhirnya Nyonya Kim mulai tenang dan menghentikan tangisnya.

"Daritadi yang kau bicarakan hanya cucumu saja. Tidakkah kau sadar kalau anakmu juga tidak ada?"

Nyonya Kim yang berada di pelukan sang suamipun langsung tersentak kecil dan melepas pelukannya. Melihat dengan matanya yang memerah itu, memastikan kebenaran akan ucapan suaminya.

"Namjoon juga hilang?!"

"Matamu mulai menua sepertinya"

"Namjoon kemana?!"

Dengan hembusan panjangnya, Tuan Kimpun mengarahkan tubuh kecil nan mungil sang istri ke suatu arah dengan mudahnya.

"Makanya, kalau punya mata itu dipakai"

I am a Dad [Namjin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang