"Aduh, pelan-pelan"
"Makanya kalau masih sakit, jangan sok mengajak pulang. Jadi begini kan?!"
"Akh! Jinseok, jangan kasar-kasar"
Seokjin hanya mendengus dan kembali melanjutkan kegiatannya. Mengganti perban di bagian tubuh Namjoon. Jika pria tampan itu mengeluh sakit, maka Seokjin akan semakin membuatnya kesakitan. Kesal tentu saja.
"Mimi!"
Jimin datang dengan senyuman lebarnya. Menunjukkan sebotol kecil jusnya yang terlihat segar.
"Sudah makan?"
"Mamam!"
Seokjin tersenyum dan memposisikan si bayi ke pangkuannya. Senyaman mungkin untuk bayi itu meminum jusnya.
"Jimin semakin lebar saja ya" cuit Namjoon sambil mengenakan kemejanya lagi. Kemeja Seokjin lebih tepatnya.
Seokjin hanya mengangguk membenarkan. Bayinya memang semakin tumbuh ke samping. Dan tentu saja Seokjin harus selalu bersyukur, mengingat bagaimana kecilnya Jimin dulu.
"Sudah mau jadi kakak, tidak boleh manja lagi ke Mamih" lanjut Namjoon sembari mencolek pipi tembam si bayi.
Bayi itu menyingkirkan jemari besar ayahnya yang menganggu acara minum jusnya. Sesayang apapun dirinya pada kedua orang tuanya, tetap saja Jimin akan marah kalau ada yang mengganggu kesenangannya. Terutama saat makan ataupun minum.
"Anak Papih lucu sekali sih" Namjoon belum puas memainkan pipi tembam itu. Tidak menyerah meski tangan kecil Jimin menghalanginya.
"Anakku!"
"Ah, anak Papih dan Mamih maksudnya" koreksi Namjoon saat Seokjin langsung menyela.
Seokjin mendengus kasar dan menyerahkan Jimin ke tangan Namjoon. Seperti tengah menyerahkan bendera saat upacara.
"Urus saja anakmu sendiri!"
Dan pergi begitu saja meninggalkan Namjoon yang melongo parah.
"Apa Papih salah bicara ya?" gumamnya pada si bayi yang kembali tenang dengan jusnya. Tidak masalah meski sudah berganti orang, yang penting botol jusnya masih dalam genggaman.
-*123*-
"Tidak sudi! Aku tidak mau pria brengsek itu berada di rumahku! Titik!"
Nyonya Kim menghentak-hentakkan kaki saat menapaki kediaman megahnya. Rumah besar yang nampak sunyi.
"Ya sudah sih, aku juga tidak masalah dengan ada tidaknya Namjoon di rumah ini. Yang penting dia hidup saja sudah" sahut sang suami yang mengekori di belakangnya.
Nyonya Kim mendengus, menghempaskan tubuhnya di sofa empuk di ruang tamu. Menyilangkan kedua tangan di depan dada dengan wajah kesalnya.
"Aku ingin bekerja saja! Disini tidak ada orang juga!" sungutnya masih mengeluh.
Tuan Kim mengangguk paham dan ikut duduk di sebelah istrinya. Tidak ikut menyilangkan tangan.
"Ya sudah, bagaimana dengan menjadi sekretarisku? Seperti dulu"
"Tidak mau, membosankan"
"Menjaga parkir? Hei, kau bisa melihat banyak orang di tempat parkir"
Plak~
"Aku serius!"
Tuan Kimpun mulai melingkarkan tangan panjangnya ke bahu kecil sang istri.
"Bagaimana kalau merawat bayi?"