Jimin masih menempel di pangkuan Ibunya. Hanya diam dan memandang tak mengerti pada orang dewasa yang tengah saling bertatapan di sekitarnya.
"Ehem"
Yang paling tua berdehem sebagai pemecah keheningan diantara mereka.
"Jadi ingin mendengar berita baik atau buruknya dulu?"
Namjoon dan Seokjin tentu saja tak paham dengan maksud kedatangan pria paruh baya ini.
"Appa-"
"Pilih saja"
Namjoon menatap Seokjin dan Jimin sejenak sebelum menghembuskan nafas panjangnya. Dan menetapkan jawaban apa yang akan ia ucapkan.
"Beritahu aku kabar baiknya saja"
"Hmm, pilihan yang cerdas"
Tuan Kim pun mengangguk-angguk sebelum kembali menatap bergantian pada dua orang yang berada di hadapannya.
"Karena percobaan pembunuhan yang dilakukan istrimu itu, gugatan perceraianmu diterima. Selamat ya"
Namjoon menyunggingkan senyuman miringnya seperti sudah menduga jika hal yang diucapkan sang ayah akan terjadi.
"Dan istrimu itu juga tidak bisa lepas dari hukum begitu saja. Yah, begitu lah intinya" lanjut Tuan Kim yang sepertinya mulai malas menceritakan detailnya.
"Apa hanya itu kabar baiknya?"
"Ada lagi"
"Apa itu?"
"Ibumu menyuruh Appa membawa si timun"
Sontak saja Namjoon dan Seokjin yang memang hanya diam saja itu mengerutkan keningnya tak paham. Seperti berpikir kenapa tiba-tiba menyebut 'Timun' di perbincangan yang cukup serius dan berat seperti ini?
"Aku tidak mengerti, Appa" cuit Namjoon mewakili.
"Kau sudah sekolah sejak kapan? Begini saja tidak mengerti. Si timun, anakmu itu, Ibumu ingin membawanya ke rumah"
"Timun? Anakku?"
Dengan santainya, Tuan Kim menunjuk ke arah bayi tak berdosa yang hanya duduk tenang sebagai pengamat disana.
"Timun? Namanya Jimin, Appa!"
Otak yang biasanya encer itu, seperti tengah dibodohi oleh ucapan ngawur sang ayah.
"Iya, itu maksudnya. Si brengsek itu yang susah sekali memberi nama pada anakmu, bukan salah Appa kalau salah menyebut namanya" bela Tuan Kim pada dirinya sendiri.
Namjoon hanya bisa mengelus dada secara perlahan akibat omong kosong yang ayahnya ucapkan. Sementara Seokjin hampir saja terkikik kecil jika saja tak ingat kalau pria ini memiliki kuasa yang besar dibalik sifat konyolnya.
"Jadi bagaimana? Biarkan si timun-"
"Jimin, Appa"
"Jimin ikut Appa pulang"
"Mana bisa begitu?!"
"Kan kalian bisa buat lagi. Kalau Appa kan sudah tidak bisa buat lagi"
Kepala Namjoon mulai berdenyut mendengar jawaban yang tak ada rasionalnya sama sekali ini. Ingin rasanya Namjoon menutup mulut ayahnya itu agar tidak berbicara lagi kalau bisa.
"Lebih baik Appa pulang saja"
"Maunya sih begitu, tapi bayangkan bagaimana nasib Appa jika pulang tanpa membawa cucunya Ibumu? Tidak kasihan pada Appa?"
"Aku tidak perduli, Appa" desis Namjoon sambil memejamkan kedua matanya, seperti menahan kesabaran.
Kedua orang tuanya ini memiliki cara sendiri-sendiri untuk menguji emosinya. Meski cara yang berbeda, tapi tetap saja membuatnya harus menambah kesabaran tiap harinya. Belum lagi ada Seokjin juga.