4. The Feeling of a Rubik

2.5K 161 2
                                    

Kaya biasa, gw pergi ke kafe itu. Itupun karena gw gada tugas besok. Gw jadi males pulang ke Jakarta kalo begini caranya.

Iyalah! Dirumah digangguin adek, bapak, emak, temen-temen gw! Disini kan enak ngeliatin Nola.

Gw memarkirkan motor gw, kemudian menenteng helm gw ke dalam.

"Kang, biasa dong 1", pesen gw sambil taro helm dibelakang meja. Kang Asep dengan cekatan langsung bikin milk tea gw. Gw duduk di stool menghadap kang Asep.

"Nola lagi bersih-bersih?", tanya gw nengok kesana-sini, ga ngeliat keberadaanya.
"Ngga, dia saya suruh istirahat, belom ada pelanggan kan?", jawab kang Asep menuang susu.
"Oh...lah aku apaan?", tanya gw abis itu.

"Pembantunya Nola", ledek dia.

Wah kurang ajar.
Ya abis tanya Nola dimana, gw masuk ke ruangan tempat penyimpanan kopi dan stok barang.

Di ruangan kecil ini ada Nola yang duduk bersila di lantai.
Di tangannya, terlihat sebuah rubik.

Ctak ctek,
Rubik itu berbunyi di setiap gerakannya.

"Hei", sapa gw tersenyum.
Dia menatap dan membalas senyum gw. Senyumnya yang cantik.

Gw kemudian duduk disebelahnya, "Kamu suka main rubik?", tanya gw sambil menatap rubiknya.

"Ngga", jawab dia singkat.

"Terus...?", gw jadi bingung. Napa bawa-bawa rubik kalo dia gasuka?

"Ini peninggalan ayahku", jawabnya sambil membolak-balikan rubik itu. Ih dijawab begitu bikin gw merasa kurang ajar, seakan-akan gw menembus privasinya.

Dia kemudian menyodorkan rubik itu ke gw.

"Eh..engga..aku ga bisa main rubik", gw menolak cepet-cepet. Sebenernya gw enggan megang rubik itu soalnya takut rusak, kan peninggalan ayahnya, kalo rusak gimana?

"Oh ya? Sayang sekali", katanya dengan nada kecewa. Dia lalu menarik tangannya kembali, dan menatap rubik itu sedih.

Rubik biasa aja tapi ada bedanya.
Bukan warna merah, biru, kuning, ijo, putih, oranye gitu-gitu.
Rubik ini seperti terbuat dari berlian palsu berwarna pastel, dan ditengah salah satu sisi ada huruf N, yang ditulis dari perak.

Kalo begini mah ini rubik istimewa buat Nola. Soalnya bener-bener keliatan hanya untuk Nola.

"Kamu...mau nyelesain rubik ini?", tanya gw pelan-pelan.
Dia terdiam, membolak-balik rubik itu, kemudian menatap huruf N yang tertera.

"Ga usah...makasih", jawabnya pelan. Tapi dari nada itu, terdengar ada niat untuk menyelesaikan rubik ini.

Gw pinter, cuma musuh besar gw adalah sebuah rubik, karena harus menghafal rumus ini itu gerakan sana sini kalo begini harus begitu! Ribet kan?!

"Kalo mau, aku coba nih", kata gw meyakinkan dia.

Dia menatap gw, "Kamu bilang ga bisa?"

"Iya tapi...apa salahnya mencoba?", bales gw sambil menyunggingkan senyum.

Dia mengulum bibirnya, kemudian menggeleng menolak, "Gausah. Aku gamau nyelesain rubik ini. Yang penting rubik ini masih bersamaku", katanya menatap rubik itu penuh kasih.

"Kamu jaga banget dong ya, dari papa kamu toh?", tanya gw memangku lengan dilutut.

Dia mengangguk sambil tersenyum tipis, senyum yang selalu gw incar.

"Kalo kamu...bagaimana papa kamu?", tanya dia kemudian.

Wah! Baru kali ini gw denger dia nanya sesuatu yang ga berkaitan sama kang Asep.

"Papa ya...?", gumam gw sambil menunduk. Nola menatap gw seperti menantikan jawaban gw, tertarik dengan ceritanya.

Melihat itu, gw mendengus.
"Dia orang yang aneh, tapi yah...aku sayang sama dia", kata gw mengangkat kedua bahu sambil tersenyum mengingat Papa.

Gw kemudian menatapnya, yang langsung berkontak mata ke gw.
"Kalo papa kamu?", tanya gw membalas pertanyaannya, ingin mengenal lebih dalam.

Mata Nola membulat sesaat, kemudian dia menatap ke depan.
"Ayah...aku ga pernah ketemu sama dia", balasnya.

Gw langsung berjengit.
Jadi...dia...?

"Apa kamu mau menceritakannya?", tanya gw memberi perhatian, sepercik rasa iba muncul, membakar perasaan gw.

Dia mengangguk, "Aku cerita kalo kamu mau..."

Nola cerita, semenjak dia lahir, dia tidak pernah bertemu ayahnya. Awalnya dia tidak peduli dan sempat berpikir tidak ada yang namanya ayah. Tapi itu semua berubah saat dia melihat seorang anak di gendong oleh ayahnya.

"Sesosok laki-laki dewasa yang selalu tersenyum padamu, yang selalu memperhatikanmu. Itulah yang aku pikir. Tapi...begitu anak ini dan itu memanggil sesosok laki-laki yang mirip ini sebagai 'ayah', aku mulai mempertanyakan dimana ayahku", ceritanya, dia menghela nafas sebelum melanjutkan, "Dan katanya... ayahku sudah tidak ada...lalu..."

Dia terhenti, menunjukan rubik itu, kemudian bilang, "Aku menemukan rubik ini di kamarnya, aku langsung merasa ini dari ayahku. Warna pastel yang kusukai...dan ukiran N dari namaku. Ini pasti dari ayahku", tekannya.

Gw makin kasian, pengen banget gw peluk dia. Tapi yah gimana ga boleh sembarangan lho.

"Makanya...aku tanya seperti apa ayahmu...karena aku tidak tau ayah itu seperti apa"

Gw terdiam menatap Nola, sebelom pandangan gw jatuh.
"Ayah ya...", gumam gw. Kemudian gw sambung,
"Sebelom aku kasih tau. Aku mau tanya, apa kamu sayang sama ayah kamu? Padahal ga pernah ketemu?"

Dia mengulum bibir berpikir, kemudian menggerakan satu sisi rubik itu sambil tetap mempertahankan huruf N untuk menghadapnya.

"Ga tau...mungkin perasaanku mirip seperti rubik ini....aku menyukainya, menganggapnya seperti sebuah harta, dan ingin menyelesaikannya atau membuat pola baru dari warna-warni ini. Tapi di saat bersamaan...aku ga tau apa pentingnya ini", katanya jujur.

Rubik ya...
Perasaan sebuah rubik...
Disukai, tapi belom tentu bisa diselesaikan...
Sayang, tapi tidak penting?
That's twisted
But somehow true

"Apa aku salah?", tanya dia pelan.
Gw langsung jawab
"Kamu ga salah"

Kita bertemu pandang,
"Pandangan ke seorang ayah itu semua beda. Apa yang aku liat ke ayahku belom tentu sama apa yang kamu lihat ke ayahmu. Makanya kamu ga bisa salah bener ayah itu kaya gimana", jawab gw mantap.

Dia seperti tersadar dengan kata-kata gw.
Tiba-tiba dia berdiri, bikin gw bingung.
Tanpa berbicara, dia berjalan ke pintu.

"Terima kasih sudah bercerita. Dan maaf kalau aku banyak tanya", kata dia tanpa menatap gw, sebelom dia keluar meninggalkan gw sendiri.

Gw melongo ga percaya sama apa yang baru terjadi.
Gw ngapain?
Dia kenapa tiba-tiba begitu?
Apa dia sedih gw ngungkit-ngungkit ayahnya?

Aish...
Gw udah kelewatan
Gw harus minta maaf

"Nola? Nola?", panggil gw sambil menaiki tangga. Sesampainya gw ke lantai atas, gw menemukan Nola menyimpan rubik itu di tas pinggangnya.

Setelah itu, Nola berbalik menghadap gw.

Dan...
Mata dia kembali kosong.
Sama seperti pas gw pertama kali ketemu dia.

"Ada yang bisa saya bantu?", tanya dia dengan nada datar, punggung yang tegak, kaki ditutup rapat, kedua tangan didepan perut.

Sangat kaku

Seperti robot yang di buat untuk melayani.

"Nola...", panggil gw sedih.

Padahal akhir-akhir ini sama dia asik.
Dia udah mulai senyum, bahkan hari ini bicara tentang ayahnya.

Nola...
Kamu kenapa sih?

I Order You to Follow Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang